Logo Design by FlamingText.com
Logo Design by FlamingText.com

Selasa, 22 Mei 2012

HAL DAN TINGKATANNYA


                                                        BAB I
PENDAHULUAN
Hal menurut Harun Nasution, hal merupakan keadaan mental. Seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebaginya. Hal yang biasa disebut sebagai hal adalah takut (Al khauf), rendah hati (Al Tawadlu), patuh (Al Taqun), Ikhlas(Al Ikhlas), rasa berteman (Al Uns), berterima kasih (Al Syukr). Untuk lebih lanjutnya , mari kita pelajarai dengan seksama.


BAB II
                                             PEMBAHASAN
   A.Hal
Hal menurut Harun Nasution, hal merupakan keadaan mental. Seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebaginya. Hal yang biasa disebut sebagai hal adalah takut (Al khauf), rendah hati (Al Tawadlu), patuh (Al Taqun), Ikhlas(Al Ikhlas), rasa berteman (Al Uns), berterima kasih (Al Syukr). [1]
Al-Qusyairi menerangkan bahwa kondisi atau sikap mental tadi diperoleh seseorang dalam bentuk yang berbeda-beda, kadang-kadang datangnya kondisi atau sikap tersebut cepat seperti kilat, kemudian menghilang, sikap mental yang demikian dinamakan lawaih. Dan kalau datang dan hilangnya agak lambat, dinamakan Bawadih.  Sedangkan kalau sikap itu tetap dan terus mengendap serta tidak akan hilang, barulah dinamakan Hal.[2]
a.       Khauf
Kauf adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena khawatir kurang sempurna pengabdian.  Takut dan khawatir kalau-kalau Allah tidak senang kepadanya. Oleh karena adanya perasaan seperti itu, maka selalu berusaha agar sikap dan laku perbuatannya tidak menyimpang dari yang dikehendaki Allah. Boleh jadi perasaan Khauf ini timbul karena takut kepada siksa Allah. Juga bisa timbul karena pengenalan dan kecintaan kepada Allah sudah begitu mendalam.  Sehingga ia khawatir kalau-kalau Allah melupakannya.
Ibnu Qudamah Al-Muqaddatsi mengatakan : “Khauf mendorong orang untuk mempraktekkan ilmu pengetahuan ; dan khauf pula yang mendorong orang untuk lebih banyak beramal, karena hanya dengan ilmu dan amal orang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah.” Dan Abu Al-Katim AL-Hakim mengatakan : “barang siapa yang takut akan sesuatu , maka larilah ia dari sesuatu  yang ditakutinya itu, tetapi barang siapa takut kepada Allah, maka bertambah taatlah ia kepada-Nya dan selalu menjauhkan diri dari berbagai perbuatan yang tidak diridhoinya.
Dalam hubungan ini Imam Al-Ghozali berbicara tentang macam-macam Khauf. Beliau membagi Khauf kepada dua macam, yaitu:
1.      Khauf karena khawatir kehilangan nikmat. Inilah yang mendorong orang untuk selalu memelihara dan menempatkan nikmat itu pada tempatnya.
2.      Khauf kepada siksaan sebagai akibat perbuatan kemaksiatan. Khauf yang seperti inilah orang untuk menjauh dari apa yang dilarang dan melaksanakan apa yang diperintah.[3]
b.         Raja’
Raja berarti sikap mental yang optimis dalam memperoleh karunia dan nikmat illahi yang disediakan bagi hamba-hambanya yang saleh, karena ia yakin bahwa Allah itu maha pengasih, Penyayang dan Maha Pengampun.
Imam Al-Qhusyairi mengatakan : Raja’ialah tarikat hati pada sesuatu yang diharapkan yang akan terjadi pada masa yang akan datang. “dan imam AL-Ghozali menerangkan:”Hakikat Raja’ ialah lapang hati (dada) dalam menantikan sesuatu yang diharapkan pada masa yang akan datang dalam hal yang mungkin terjadi.
Syah Al-Karmani, seperti dikutip oleh Imam AL-Qusyairi mengatakan :” sebagai tanda orang yang bersikap Raja’ialah ia selalu berbuat dan berbakti dengan sebaik-baiknya. “yang dimaksud dengan sebaik-baiknya ialah baik dari segi syarat dan rukun atau tata cara melaksanakan ibadah. Ahmad bin Asim Al-Antaqi ketika ditanya tentang tanda orang yang  bersikap Raja’ mengatakan :” apabila dilimpahkan nikmat kepadanya, timbullah keinginanya untuk mensyukuri nikmat itu, karena mengharap nikmat bertambah. :” kemudian Ibnu Khabiq berkata : “ Raja’ ada 3 macam seseorang yang berbuat kebaikan mengharapkan kebaikannya diterima, seseorang yang berbuat kejahatan lalu bertaubat dan mengharapkan agar taubatnya diterima, dan seseorang yang berdusta lalu mengharap ampunan Allah.[4]
c.         Syauqaa
Selama masih ada cinta, syauq tetap diperlukan. Dalam lubuk jiwa seorang sufi rasa rindu (Syauq) hidup dengan subur, yakni rindu untuk segera bertemu dengan Tuhan. Ada orang yang mengatakan bahwa maut merupakan bukti cinta yang benar dan lupa kepada Allah lebih berbahaya dari pada maut. Bagi syufi yang rindu kepada Tuhan, maut dapat mempertemukannya kepada Tuhan, sebab hidup merintangi pertemuan abid dengan ma’budnya.[5]
d.        Uns
Uns adalah keadaan jiwa dan seluruh ekspresi rohani terpusat penuh kepada satu titik sentrum, yaitu Allah. Tidak ada yang dirasa. Tidak ada yang diharap kecuali Allah. [6]Dalam pandangan kaum Sufi, sikap uns (Intim) adalah sifat merasa selalu berteman, tak pernah merasa sepi. Ungkapan berikut ini melukiskan sifat uns :
“Ada orang yang merasa sepi dalam keramaian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan kekasihnya sebab sedang dimabuk cinta, seperti halnya sepasang pemuda dan pemud. Ada pula orang yang merasa bising dalam kesepain. Ia adalah orang yang selalu memikrikan atau merancanakan tugas pekerjaannya semata-mata. Adapun engkau, selalu merasa berteman dimanapun berada. Alangkah mulianya engkau berteman dengan Allah, artinya engkau selalu berada dalam pemeliharaan Allah.
“ungkapan diatas melukiskan keakraban seorang sufi dnegan Tuhannya. Sifat keintiman ini banyak dialami oleh kaum sufi.[7]
e.       Yaqin
Perpaduan antara pengetahuan yang luas dan mendalam dengan rasa cinta dan rindu yang bergelora bertaut lagi dengan perjumpaan secara langsung, bertambahlah dalam jiwanya dan tumbuh bersemi perasaan yang mapan dan mantap, bahwa Dialah yang dicari itu. Perasaan mantapnya pengetahuan yang diperoleh dari pertemuan secara langsung itulah yang disebut yaqin. Dalam hal ini al-Junaid berkata;”Yaqin ialah mantapnya pengetahuan sehingga tidak berpaling dan tidak berubah”.
Abu Bakar Waraq berkata:”Yakin terbagi kedalam tiga macam, yaitu (1)yaqin khabar,(2) yaqin dilalah, (3) yaqin musyahadah. Dalam hubungan ini Abu Zakaria Anshari menjelaskana bahwa yang dimaksud dengan yaqin khabar ialah pengetahuan yang diperoleh dari berita yang dibawa oleh para nabi tentang yang tidak mungkin dapat dijangkau oleh indra manusia,seperti syurga, neraka dan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi pada hari kiamat nanti. Yaqin dilalah ialah pengetahuan yang didapat dengan perantara akal pikiran seperti bukti tentang barunya alam dan qadim-Nya Allah dengan bukti bahwa Allahlah yang menciptakan alam semesta ini dengan sifat-Nya yang Mahasempurna dan Mahakuasa. Kemudian yaqin musyahadah ialah pengetahuan yang diperoleh dengan pandangan hati yang telah mendapat limpahan karunia Allah Swt.[8]
f.       Fana’ dan Baqa
Fana artinya hilang, hancur. Fana adalah proses menghancurkan diri bagi seorangsufi agar dapat bersatu dengan Tuhan. Sedangkan Baqa artinya tetap, terus hidup. Baqa adalah sifat yang mengiringi dari proses fana dalam penghancuran diri untuk mencapai ma’rifat.Seorang sufi untuk ma’rifat harus bisa menghancurkan diri terlebih dahulu, dan proses penghancuran diri inilah di dalam tasawuf disebut Fana´ yang diiringi oleh Baqa´.Dalam Risalatul Qusyairiyah dinyatakan bahwa Fana adalah menghilangkan sifat-sifat yang tercela dan Baqa artinya mendirikan sifat-sifat yang terpuji. Barang siapa yangmenghilangkan sifat tercela maka timbullah sifat yang terpuji. Jika sifat tercela menguasai diri maka tertutuplah sifat yang terpuji bagi seseorang.[9]
g.      Ittihad’
Yang dimaksud dengan ittihad ialah penyatuan diri dengan Tuhan. Persatuan disini tidak berarti persatuan jasad sufi dengan Tuhan, tetapi merupakan persatuan mistis, sebagai puncak pertemuan antara yang mencintai dengan yang dicintai. Ittihad di kalangan komunitas sufi merupakan persatuan secara mistis di mana makhluk bersatu dengan khalik.
Dalam ittihad  yang dilihat hanya satu wujud walaupun sebenarnya ada dua wujud yang terpisah antara satu dengan yang lainnya. Karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud, maka ittihad bisa terjadi pertukara peran antara yang mencintai dan yang dicintai atau tegasnya antara sufi dengan Tuhan. Dalam keadaan ini sang sufi telah kehilangan identitas. Sang sufi karena fananya  telah tak mempunyai kesadaran lagi, dan berbicara dengan nama Tuhan.
Pada saat ittihad seorang sufi yang sedang merasa bersatu dengan Tuhan sering mengucapkan kata-kata yang kedengarannya aneh dan ganjil bagi orang lain yag disebut syathahat. Syathahat dalah ucapan-ucapan yang diucapkan oleh seorang sufi ketika ia mulai berada dipintu gerbang ittihad. Seperti : « Seesungguhnya Aku ini Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku. » dan ”Yang ada dalam baju ini hanyalah Allah ».[10]
h.      Hulul
Secara harfiyah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana. Menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma’ sebagai dikutip Harun Nasution, adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengmbil tempat di dalamnya setelah kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.
menurut al-Hallaj, bahwa Allah member perintah kepada malaikat agar bersujud kepada nabi Adam As, karena pada diri Adam Allah menjelma sebagaimana agama Nasrani. Ia menjelma dalam diri Isa As.
Jadi hulul adalah suatu tahap dimana manusia dan Tuhan berstu secara rohaniah. Tujuan dari hulul adalah mencapai persatuan secara batin. Untuk itu Hamka mengatakan, bahwa hulul adalah ketuhanan (lahut) menjelma kedalam diri insan (nasut), dan hal ini terjadi pada kebatinan seseorag insane telah suci  bersih dalam menempuh perjalanan hidup kebatinan.[11]
i.        Wahdatul wujud
Paham ini merupakan perluasan dari paham hulul, yang dibawa oleh Muhyi al-Din Ibn Arabi kelahiran Spanyol pada tahun 560 H dan meninggal pada tahun 638 H di Damaskus.
Dikatakan paham ini sebagai perluasan dari konsepsi (paham) al-hulul adalah Karena nasut yang ada dalam hulul ia ganti dengan Khalq (makhluk), sedang lahut menjadi al-Haqq (Tuhan). Khalq dan al-haqq adalah dua sisi bagi segala sesuatu, dua aspek yang ada pada segala sesuatu. Aspek lahirnya disebut khalq dan aspek yang sebelah batinnya disebut al-haqq. Dengan demikian segala sesuatu yang ada ini mengandung aspek lahir dan aspek batin atau terdiri dari ‘ard (accident) dan jauhar (subtance). Aspek khalq atau aspek luar memiliki sifat kemahlikan atau nasut. Sedangkan aspek batin atau al-haqq memiliki sifat ketuhanan atau lahut. Tiap – tiap yang bergerak tidak terlepas dari kedua aspek itu, yaitu sifat ketuhanan dan sifat kemanusiaan.[12]            Menurut Ibnu Taimiyah, wahdat al-wujud adalah paham yang menyamakan Tuhan dengan alam. Sejak zaman Ibnu Taimiyah dan seterusnya, istilah wahdat al-wujud semakin sring digunakan secara umum untuk menunjukan keseluruhan doktrin yang diajarkan Ibnu ‘Arabi dan para pengikutnya dan sering difahami sebagai ajaran yang menyamakan Tuhan dengan makhluk, sehingga para pengecam wahdat al-wujud, terutama kaum fuqaha, istilah itu berkonotasi negative, yang diberi label kufr, zandaqah dan bid’ah. Namun, bagi kebanyakan kaum sufi, khususnya para pengikut Ibnu ‘Arabi, ajaran tentang wahdat al-wujud tersebut merupakan ajaran yang sahih, dan tak sedikitpun menyimpang dari konsep dasar ajaran islam sebagaimana diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw.[13]








                                                      BAB III
PENUTUP
            Disamping istilah maqam, terdapat pula di dalam literature tasawuf  istilah Hal (bentuk jamaknya Ahwal). Hal merupakan kondisi mental, seperti perasaan senang, sedih takut dan sebagainya. Hal, berlainan denga maqam, bukan diperoleh melalui usaha manusia, tetapi diperoleh sebagai rahmat dan anugrah dari Tuhan. Dan berlainan pula dengan maqam, hal bersifat sementara, datang dan pergi. Dating dan pergi seorang sufi dalam perjalanannya mendekatkan diri kepada Tuhan.





DAFTAR PUSTAKA

Anwar Rosihon dkk, 2000. Ilmu Tasawuf. Bandung : CV . Pustaka Setia.
As,Asmaran. 1994. Pengantar Studi Tasawuf . Jakarta : PT. Raja Gravindo Persada.
Nata Abudin. 2006. Akhlak Tasawuf. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Siregar A.Rivay 1999. Tasawuf . Dari Sufisme Klasik ke neo Sufisme. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Zuhri, Amat. 2008. ILmu Tasawuf. Pekalongan: STAIN PEKALONGAN PRESS.




[1] Nata, Abudin.Akhlak Taswuf. (Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada. 2006) hal 204
[2] AS, Asmaran, pengantar Studi Tasawuf. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 1994) hal 140
[3] AS, Asmaran, pengantar Studi Tasawuf. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 1994) hal 141-142
[4] AS, Asmaran, pengantar Studi Tasawuf. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 1994) hal 144-145
[5] Anwar, Rosikhun dkk, IlmuTasawuf. (Bandung : CV. Pustaka Setia. 2000) hal 76
[6] AS, Asmaran, pengantar Studi Tasawuf. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 1994) hal 146
[7] [7] Anwar, Rosikhun dkk, IlmuTasawuf. (Bandung : CV> Pustaka Setia. 2000) hal 76-77
[8] [8] [8] Anwar, Rosikhun dkk, IlmuTasawuf. (Bandung : CV> Pustaka Setia. 2000) hal 149-151
[10] Zuhri, Amat. Ilmu Tasawuf.( Pekalongan:STAIN Pekalongan Press.2008) hal 70-72
[11] Nata, Abudin.Akhlak Taswuf. (Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada. 2006)hal 239-241
[12] Siregar A.Rivay. Tasawuf . Dari Sufisme Klasik ke neo Sufisme. (Jakarta : Raja Grafindo Persada. 1999). Hal 182-183
[13]Zuhri, Amat. Ilmu Tasawuf.( Pekalongan:STAIN Pekalongan Press.2008) hal 125-126

Tidak ada komentar:

Posting Komentar