BAB I
PENDAHULUAN
Hal menurut Harun Nasution, hal
merupakan keadaan mental. Seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan
takut dan sebaginya. Hal yang biasa disebut sebagai hal adalah takut (Al
khauf), rendah hati (Al Tawadlu), patuh (Al Taqun), Ikhlas(Al Ikhlas), rasa
berteman (Al Uns), berterima kasih (Al Syukr). Untuk lebih lanjutnya , mari
kita pelajarai dengan seksama.
BAB II
PEMBAHASAN
A.Hal
Hal menurut Harun Nasution, hal merupakan keadaan mental. Seperti
perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebaginya. Hal yang biasa
disebut sebagai hal adalah takut (Al khauf), rendah hati (Al Tawadlu), patuh
(Al Taqun), Ikhlas(Al Ikhlas), rasa berteman (Al Uns), berterima kasih (Al
Syukr). [1]
Al-Qusyairi menerangkan bahwa kondisi atau sikap mental tadi
diperoleh seseorang dalam bentuk yang berbeda-beda, kadang-kadang datangnya
kondisi atau sikap tersebut cepat seperti kilat, kemudian menghilang, sikap
mental yang demikian dinamakan lawaih. Dan kalau datang dan hilangnya
agak lambat, dinamakan Bawadih. Sedangkan kalau sikap itu tetap dan terus
mengendap serta tidak akan hilang, barulah dinamakan Hal.[2]
a.
Khauf
Kauf adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena
khawatir kurang sempurna pengabdian.
Takut dan khawatir kalau-kalau Allah tidak senang kepadanya. Oleh karena
adanya perasaan seperti itu, maka selalu berusaha agar sikap dan laku
perbuatannya tidak menyimpang dari yang dikehendaki Allah. Boleh jadi perasaan
Khauf ini timbul karena takut kepada siksa Allah. Juga bisa timbul karena
pengenalan dan kecintaan kepada Allah sudah begitu mendalam. Sehingga ia khawatir kalau-kalau Allah
melupakannya.
Ibnu Qudamah Al-Muqaddatsi mengatakan : “Khauf mendorong orang
untuk mempraktekkan ilmu pengetahuan ; dan khauf pula yang mendorong orang
untuk lebih banyak beramal, karena hanya dengan ilmu dan amal orang dapat
mendekatkan dirinya kepada Allah.” Dan Abu Al-Katim AL-Hakim mengatakan :
“barang siapa yang takut akan sesuatu , maka larilah ia dari sesuatu yang ditakutinya itu, tetapi barang siapa takut
kepada Allah, maka bertambah taatlah ia kepada-Nya dan selalu menjauhkan diri
dari berbagai perbuatan yang tidak diridhoinya.
Dalam hubungan ini Imam Al-Ghozali berbicara tentang macam-macam
Khauf. Beliau membagi Khauf kepada dua macam, yaitu:
1.
Khauf karena
khawatir kehilangan nikmat. Inilah yang mendorong orang untuk selalu memelihara
dan menempatkan nikmat itu pada tempatnya.
2.
Khauf kepada
siksaan sebagai akibat perbuatan kemaksiatan. Khauf yang seperti inilah orang
untuk menjauh dari apa yang dilarang dan melaksanakan apa yang diperintah.[3]
b.
Raja’
Raja berarti sikap mental yang
optimis dalam memperoleh karunia dan nikmat illahi yang disediakan bagi
hamba-hambanya yang saleh, karena ia yakin bahwa Allah itu maha pengasih,
Penyayang dan Maha Pengampun.
Imam Al-Qhusyairi mengatakan :
Raja’ialah tarikat hati pada sesuatu yang diharapkan yang akan terjadi pada
masa yang akan datang. “dan imam AL-Ghozali menerangkan:”Hakikat Raja’ ialah
lapang hati (dada) dalam menantikan sesuatu yang diharapkan pada masa yang akan
datang dalam hal yang mungkin terjadi.
Syah Al-Karmani, seperti dikutip
oleh Imam AL-Qusyairi mengatakan :” sebagai tanda orang yang bersikap
Raja’ialah ia selalu berbuat dan berbakti dengan sebaik-baiknya. “yang dimaksud
dengan sebaik-baiknya ialah baik dari segi syarat dan rukun atau tata cara
melaksanakan ibadah. Ahmad bin Asim Al-Antaqi ketika ditanya tentang tanda
orang yang bersikap Raja’ mengatakan :”
apabila dilimpahkan nikmat kepadanya, timbullah keinginanya untuk mensyukuri
nikmat itu, karena mengharap nikmat bertambah. :” kemudian Ibnu Khabiq berkata
: “ Raja’ ada 3 macam seseorang yang berbuat kebaikan mengharapkan kebaikannya
diterima, seseorang yang berbuat kejahatan lalu bertaubat dan mengharapkan agar
taubatnya diterima, dan seseorang yang berdusta lalu mengharap ampunan Allah.[4]
c.
Syauqaa
Selama masih ada cinta, syauq tetap
diperlukan. Dalam lubuk jiwa seorang sufi rasa rindu (Syauq) hidup dengan
subur, yakni rindu untuk segera bertemu dengan Tuhan. Ada orang yang mengatakan
bahwa maut merupakan bukti cinta yang benar dan lupa kepada Allah lebih
berbahaya dari pada maut. Bagi syufi yang rindu kepada Tuhan, maut dapat
mempertemukannya kepada Tuhan, sebab hidup merintangi pertemuan abid dengan
ma’budnya.[5]
d.
Uns
Uns adalah keadaan jiwa dan seluruh ekspresi rohani terpusat penuh
kepada satu titik sentrum, yaitu Allah. Tidak ada yang dirasa. Tidak ada yang
diharap kecuali Allah. [6]Dalam
pandangan kaum Sufi, sikap uns (Intim) adalah sifat merasa selalu berteman, tak
pernah merasa sepi. Ungkapan berikut ini melukiskan sifat uns :
“Ada
orang yang merasa sepi dalam keramaian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan
kekasihnya sebab sedang dimabuk cinta, seperti halnya sepasang pemuda dan
pemud. Ada pula orang yang merasa bising dalam kesepain. Ia adalah orang yang selalu
memikrikan atau merancanakan tugas pekerjaannya semata-mata. Adapun engkau,
selalu merasa berteman dimanapun berada. Alangkah mulianya engkau berteman
dengan Allah, artinya engkau selalu berada dalam pemeliharaan Allah.
“ungkapan diatas melukiskan keakraban seorang sufi dnegan Tuhannya.
Sifat keintiman ini banyak dialami oleh kaum sufi.[7]
e.
Yaqin
Perpaduan antara pengetahuan yang luas dan mendalam dengan rasa
cinta dan rindu yang bergelora bertaut lagi dengan perjumpaan secara langsung,
bertambahlah dalam jiwanya dan tumbuh bersemi perasaan yang mapan dan mantap,
bahwa Dialah yang dicari itu. Perasaan mantapnya pengetahuan yang diperoleh
dari pertemuan secara langsung itulah yang disebut yaqin. Dalam hal ini
al-Junaid berkata;”Yaqin ialah mantapnya pengetahuan sehingga tidak
berpaling dan tidak berubah”.
Abu Bakar Waraq berkata:”Yakin terbagi kedalam tiga macam, yaitu
(1)yaqin khabar,(2) yaqin dilalah, (3) yaqin musyahadah.
Dalam hubungan ini Abu Zakaria Anshari menjelaskana bahwa yang dimaksud dengan yaqin
khabar ialah pengetahuan yang diperoleh dari berita yang dibawa oleh para
nabi tentang yang tidak mungkin dapat dijangkau oleh indra manusia,seperti
syurga, neraka dan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi pada hari kiamat
nanti. Yaqin dilalah ialah pengetahuan yang didapat dengan perantara
akal pikiran seperti bukti tentang barunya alam dan qadim-Nya Allah
dengan bukti bahwa Allahlah yang menciptakan alam semesta ini dengan sifat-Nya
yang Mahasempurna dan Mahakuasa. Kemudian yaqin musyahadah ialah pengetahuan
yang diperoleh dengan pandangan hati yang telah mendapat limpahan karunia Allah
Swt.[8]
f.
Fana’ dan Baqa
Fana artinya hilang,
hancur. Fana adalah proses menghancurkan diri bagi seorangsufi agar dapat
bersatu dengan Tuhan. Sedangkan Baqa artinya tetap, terus hidup. Baqa adalah
sifat yang mengiringi dari proses fana dalam penghancuran diri untuk mencapai
ma’rifat.Seorang sufi untuk ma’rifat harus
bisa menghancurkan diri terlebih dahulu, dan proses penghancuran diri
inilah di dalam tasawuf disebut Fana´ yang diiringi oleh Baqa´.Dalam
Risalatul Qusyairiyah dinyatakan bahwa Fana adalah menghilangkan sifat-sifat yang tercela dan Baqa artinya mendirikan
sifat-sifat yang terpuji. Barang siapa yangmenghilangkan sifat tercela maka timbullah
sifat yang terpuji. Jika sifat tercela menguasai diri maka tertutuplah sifat
yang terpuji bagi seseorang.[9]
g.
Ittihad’
Yang dimaksud dengan ittihad ialah penyatuan diri dengan Tuhan.
Persatuan disini tidak berarti persatuan jasad sufi dengan Tuhan, tetapi
merupakan persatuan mistis, sebagai puncak pertemuan antara yang mencintai
dengan yang dicintai. Ittihad di kalangan komunitas sufi merupakan
persatuan secara mistis di mana makhluk bersatu dengan khalik.
Dalam ittihad yang
dilihat hanya satu wujud walaupun sebenarnya ada dua wujud yang terpisah antara
satu dengan yang lainnya. Karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud,
maka ittihad bisa terjadi pertukara peran antara yang mencintai dan yang
dicintai atau tegasnya antara sufi dengan Tuhan. Dalam keadaan ini sang sufi
telah kehilangan identitas. Sang sufi karena fananya telah tak mempunyai kesadaran lagi, dan
berbicara dengan nama Tuhan.
Pada saat ittihad seorang sufi yang sedang merasa bersatu
dengan Tuhan sering mengucapkan kata-kata yang kedengarannya aneh dan ganjil
bagi orang lain yag disebut syathahat. Syathahat dalah ucapan-ucapan yang diucapkan
oleh seorang sufi ketika ia mulai berada dipintu gerbang ittihad. Seperti : « Seesungguhnya
Aku ini Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku. » dan ”Yang
ada dalam baju ini hanyalah Allah ».[10]
h.
Hulul
Secara harfiyah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh
manusia tertentu, yaitu manusia yang dapat melenyapkan sifat-sifat
kemanusiaannya melalui fana. Menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma’
sebagai dikutip Harun Nasution, adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan
memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengmbil tempat di dalamnya setelah
kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.
menurut al-Hallaj, bahwa Allah member perintah kepada malaikat agar
bersujud kepada nabi Adam As, karena pada diri Adam Allah menjelma sebagaimana
agama Nasrani. Ia menjelma dalam diri Isa As.
Jadi hulul adalah suatu tahap dimana manusia dan Tuhan berstu
secara rohaniah. Tujuan dari hulul adalah mencapai persatuan secara batin.
Untuk itu Hamka mengatakan, bahwa hulul adalah ketuhanan (lahut)
menjelma kedalam diri insan (nasut), dan hal ini terjadi pada kebatinan
seseorag insane telah suci bersih dalam
menempuh perjalanan hidup kebatinan.[11]
i.
Wahdatul wujud
Paham
ini merupakan perluasan dari paham hulul,
yang dibawa oleh Muhyi al-Din Ibn Arabi kelahiran Spanyol pada tahun 560 H
dan meninggal pada tahun 638 H di Damaskus.
Dikatakan
paham ini sebagai perluasan dari konsepsi (paham) al-hulul adalah Karena nasut
yang ada dalam hulul ia ganti dengan Khalq (makhluk), sedang lahut menjadi
al-Haqq (Tuhan). Khalq dan al-haqq adalah dua sisi bagi segala sesuatu, dua
aspek yang ada pada segala sesuatu. Aspek lahirnya disebut khalq dan aspek yang
sebelah batinnya disebut al-haqq. Dengan demikian segala sesuatu yang ada ini
mengandung aspek lahir dan aspek batin atau terdiri dari ‘ard (accident) dan
jauhar (subtance). Aspek khalq atau aspek luar memiliki sifat kemahlikan atau
nasut. Sedangkan aspek batin atau al-haqq memiliki sifat ketuhanan atau lahut.
Tiap – tiap yang bergerak tidak terlepas dari kedua aspek itu, yaitu sifat
ketuhanan dan sifat kemanusiaan.[12] Menurut Ibnu Taimiyah, wahdat al-wujud adalah paham yang
menyamakan Tuhan dengan alam. Sejak zaman Ibnu Taimiyah dan seterusnya, istilah
wahdat al-wujud semakin sring
digunakan secara umum untuk menunjukan keseluruhan doktrin yang diajarkan Ibnu
‘Arabi dan para pengikutnya dan sering difahami sebagai ajaran yang menyamakan
Tuhan dengan makhluk, sehingga para pengecam wahdat al-wujud, terutama kaum fuqaha, istilah itu berkonotasi
negative, yang diberi label kufr,
zandaqah dan bid’ah. Namun, bagi
kebanyakan kaum sufi, khususnya para pengikut Ibnu ‘Arabi, ajaran tentang wahdat al-wujud tersebut merupakan
ajaran yang sahih, dan tak sedikitpun menyimpang dari konsep dasar ajaran islam
sebagaimana diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw.[13]
BAB
III
PENUTUP
Disamping istilah maqam,
terdapat pula di dalam literature tasawuf
istilah Hal (bentuk jamaknya Ahwal). Hal merupakan
kondisi mental, seperti perasaan senang, sedih takut dan sebagainya. Hal,
berlainan denga maqam, bukan diperoleh melalui usaha manusia, tetapi diperoleh
sebagai rahmat dan anugrah dari Tuhan. Dan berlainan pula dengan maqam, hal
bersifat sementara, datang dan pergi. Dating dan pergi seorang sufi dalam perjalanannya
mendekatkan diri kepada Tuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar Rosihon dkk, 2000. Ilmu
Tasawuf. Bandung : CV . Pustaka Setia.
As,Asmaran. 1994. Pengantar Studi
Tasawuf . Jakarta : PT. Raja Gravindo Persada.
Nata Abudin. 2006. Akhlak
Tasawuf. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Siregar A.Rivay 1999. Tasawuf .
Dari Sufisme Klasik ke neo Sufisme. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Zuhri, Amat. 2008. ILmu Tasawuf. Pekalongan:
STAIN PEKALONGAN PRESS.
[1]
Nata, Abudin.Akhlak Taswuf. (Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada. 2006)
hal 204
[2] AS,
Asmaran, pengantar Studi Tasawuf. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
1994) hal 140
[3]
AS, Asmaran, pengantar Studi Tasawuf. (Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada. 1994) hal 141-142
[4]
AS, Asmaran, pengantar Studi Tasawuf. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
1994) hal 144-145
[5]
Anwar, Rosikhun dkk, IlmuTasawuf. (Bandung : CV. Pustaka Setia. 2000)
hal 76
[6]
AS, Asmaran, pengantar Studi Tasawuf. (Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada. 1994) hal 146
[7] [7]
Anwar, Rosikhun dkk, IlmuTasawuf. (Bandung : CV> Pustaka Setia. 2000)
hal 76-77
[8] [8]
[8]
Anwar, Rosikhun dkk, IlmuTasawuf. (Bandung : CV> Pustaka Setia. 2000)
hal 149-151
[10]
Zuhri, Amat. Ilmu Tasawuf.( Pekalongan:STAIN Pekalongan Press.2008) hal
70-72
[11]
Nata, Abudin.Akhlak Taswuf. (Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada.
2006)hal 239-241
[12] Siregar A.Rivay. Tasawuf . Dari Sufisme Klasik ke neo Sufisme. (Jakarta : Raja Grafindo Persada. 1999). Hal 182-183
[13]Zuhri,
Amat. Ilmu Tasawuf.( Pekalongan:STAIN Pekalongan Press.2008) hal 125-126
Tidak ada komentar:
Posting Komentar