Logo Design by FlamingText.com
Logo Design by FlamingText.com

Selasa, 22 Mei 2012

Ulumul Qur'an



BAB I
PENDAHULUAN
Ulumul Qur’an merupakan komponen Mata Kuliah Dasar Keahlian yang wajib diikuti oleh Mahasiswa berdasarkan kebijakan Kurikulum Nasional. Mata Kuliah ini didesain agar Mahasiswa memahami ilmu-ilmu al-Qur’an sebagai salah satu alat untuk memahami isi kandungan ayat-ayat al-Qur’an. Denagn demikian out put yang diharapkan adalah kemampuanuntuk mengkaji secara umum tentang bagaimana memahami al-Qur’an.
Ulumul al-Qur’an berasal dari bahasa Arab dalam bentuk susunan idhofah (kata majmuk) yang terdiri dari dua kata, yaitu ‘ulum jamak dari kata ‘ilm  yang berarti ilmu-ilmu dan kata al-Qur’an berarti segala pengetahuan atau ilmu-ilmu yang berkaitan dengan al-Qur’an. Muhammad abdu al-Adhim al-Zarqani mendefinisikan al-Qur’an sebagai berikut:”beberapa pembahasan yang berhubungan dengan al-Qur’an dari segi turunnya, sistematiknya, pengumpulannya, penulisannya, qiraatnya, tafsirnya, nasikh mansukhnya, serta penolakan terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan keragu-raguan terhadap al-Qur’an, dan lain sebagainya.”.
PEMBAHASAN
BAB II
MAKKIYAH DAN MADANIYAH
A.    Definisi Surat Makkiyah dan Surat Madaniyah
Ada beberapa definisi tentang al-Makkiyah dan Madaniyah yang diberikan oleh para ulama yang masing-masing berbeda satu sama lain. Perbedaan ini disebabkan kriteria yang disebabkan oleh perbedaan kriteria yang ditetapkan untuk menetapkan Makiyah atau Madaniyah sebuah surat atau ayat.
Ada tiga pendapat yang dikemukakan ulama tafsir dalam hal ini :
1.      Berdasarkan tempat turunnya suatu ayat.
 “ Makkiyah ialah suatu ayat yang diturunkan di Mekkah, sekalipun sesudah hijrah, sedang Madaniyahyah ialah yang diturunkan di Madinah”.
Berdasarkan rumusan di atas,Makkiyah adalah semua surat atau ayat yang dinuzulkan di wilayah Mekkah dan sekitarnya. Sedangkan Madaniyah adalah semua surat atau ayat yang dinuzulkan di Madinah. Adapun kelemahan pada rumusan ini karena tidak semua ayat al-Qur’an dimasukkan dalam kelompok Makiyyah atau Madaniyah. Alasannya ada beberapa ayat al-Quran yang dinuzulkan jauh di luar Mekkah dan Madinah.
2.      Berdasarkan khittab/ seruan/ panggilan dalam ayat tersebut.
 “ Makkiyah ialah ayat yang khittabnya/panggilannya ditujukan kepada penduduk Mekkah, sedang Madaniyahyah ialah yang khittabnya ditujukan kepada penduduk Madaniyahyah”.
Berdasarkan rumusan di atas, para ulama menyatakan bahwa setiap ayat atau surat yang dimulai dengan redaksi (wahai sekalian manusia) dikategorikan Makkiyah, karena pada masa itu penduduk Mekkah pada umumnya masih kufur. Sedangkan ayat atau surat yang dimulai dengan  (wahai orang-orang yang beriman) dikategorikan Madaniyah, karena penduduk Madinah pada waktu itu telah tumbuh benih-benih iman di dada mereka. Adapun kelemahan-kelemahan pada rumusan ini, antara lain:
3.      Berdasarkan masa turunnya ayat tersebut.
 “ Makkiyah ialah ayat yang diturunkan sebelum Nabi hijrah ke Madinah, sekalipun turunnya di luar Mekkah, sedang Madaniyahyah ialah yang diturunkan sesudah Nabi hijrah, sekalipun turunnya di Mekkah”.. [1]
B.     Cara Menentukan Makki dan Madani :
Untuk mengetahui dan menentukan makki dan madani para ulama bersandar pada dua cara utama :
·         Manhaj sima`i ( metode naqli pendengaran seperti apa adanya )
·         Manhaj qiyasi ijtihadi ( menganalogikan dan ijtihad ).
1.      Cara sima’i naqli : didasarkan pada riwayat sahih dari para sahabat yang hidup pada saat dan menyaksikan turunnya wahyu. Atau dari para tabi`in yag menerima dan mendengar dari para sahabat sebagaiamana, dimana dan peristiwa apa yang berkaitan dengan turunnya wahyu itu. Sebagian besar penentuan makki dan madani itu didasarkan pada cara pertama. Dan cotoh-contoh diatas adalah bukti paling baik baginya. Penjelasan tentang penentuan tersebut telah memenuhi kitab-kitab tafsir bil ma`tsur. Kitab asbabun Nuzul dan pembahasan-pembahasan mengenai ilmu-ilmu Qur`an.
2.      Cara qiysi ijtihadi : didasarkan pada ciri-ciri makki dan madani. Apa bila dalam surah makki terdapat suatu ayat yang mengandung ayat madani atau mengandung persitiwa madani, maka dikatakan bahwa ayat itu madani. Dan sebaliknya. Bila dalam satu surah terdapat ciri-ciri makki, maka surah itu dinamakan surah makki. Juga sebaliknya. Inilah yang disebut qiyas ijtihadi.
C.     Ketentuan dan Ciri Khas Makki dan Madaniy
1) Ketentuan Surat Makkiyah .
a)        Setiap surah yang didalamnya mengandung `sajdah` maka surah itu makki.
b)        Setiap surah yang mengandung lafal ` kalla` berarti makki. Lafal ini hanya terdapat dalam separuh terakhir dari Qur`an dan di sebutkan sebanyak tiga puluh tiga kali dalam lima belas surah.
c)        Setiap surah yang mengandung yaa ayyuhan naas dan tidak mengandung yaa ayyuhal ladzinaa amanuu, berarti makki. Kecuali surah al-Hajj yang pada akhir surah terdapat ayat yaa ayyuhal ladziina amanuur ka`u wasjudu. Namaun demikian sebagian besar ulama berpendapat bahwa ayat tersebut adalah makki.
d)       Setiap surah yang menngandung kisah para nabi umat terdahulu adalah makki, kecuali surah baqarah.
e)        Setiap surah yang mengandung kisah Adam dan iblis adalah makki, kecuali surat baqarah.
f)         setiap surah yang dibuka dengan huruf-huruf singkatan seperti alif lam mim, alif lam ra, ha mim dll, adalah makki. Kecuali surah baqarah dan ali-imran, sedang surah Ra`ad masih diperselisihkan.
2) Tema & Gaya Bahasa Surat Makkiyah
Dari segi ciri tema dan gaya bahasa, ayat makky dapatlah diringkas sebagai berikut :
a)      Ajakan kepada tauhid dan beribadah hanya kepada Allah, pembuktian mengenai risalah, kebangkitan dan hari pembalasan, hari kiamat dan kengeriannya, neraka dan siksanya, surga dan nikmatnya, argumentasi dengan orang musyrik dengan menggunkan bukti-bukti rasional dan ayat-ayat kauniah.
b)      Peletakan dasar-dasar umum bagi perundang-undangan dan ahlak mulia yang menjadi dasar terbentuknya suatu masyarakat, dan penyingkapan dosa orang musyrik dalam penumpahan darah, memakan harta anak yatim secara dzalim. Penguburan hidup-hidup bayi perempuan dn tradisi buruk lainnya.
c)      Menyebutkan kisah para nabi dan umat-umat terdahulu sebagai pelaran bagi mereka sehingga megetahui nasib orang yang mendustakan sebelum mereka, dan sebagai hiburan buat Rasulullah SAW sehingga ia tabah dalam mengadapi gangguan dari mereka dan yakin akan menang.
d)     Suku katanya pendek-pendek disertai kata-kata yang mengesankan sekali, pernyataannya singkat, ditelinga terasa menembus dan terdengar sangat keras. Menggetarkan hati, dan maknanya pun meyakinkan dengan diperkuat lafal-lafal sumpah, seperti surah-surah yang pendek-pendek . dan perkecualiannya hanyasedikit.
3) Ketentuan Surat Madaniyah
a)      Setiap surah yang berisi kewajiban atai had ( sanksi ) adalah madani.
b)      Setiap surah yang didalamnya disebutkan orang-orang munafik adalah madani, kecuali surah al-ankabut adalah makki.
c)      Setiap surah yang didalamnya terdapat dialog dengan ahli kitab adalah madani.
4) Tema dan Gaya Bahasa surat Madaniyah
Dari segi ciri khas, tema dan gaya bahasa, dapatlah diringkaskan sebagai berikut :
a)      Menjelaskan ibadah, muamalah, had, kekeluargaan, warisan, jihad, hubungan sosial, hubungan internasiaonal baik diwaktu damai maupun perang, kaidah hukum dan masalah perundang-undangan.
b)      Seruan terhadap ahli kitab, dari kalangan yahudi dn nasrani. Dan ajakan kepada mereka untuk masuk Islam, penjelasan mengenai penyimpangan mereka, terhadap kitab-kitab Allah, permusuhan mereka terhadap kebenaran, dan perselisihan mereka setelah ilmu datang kepada mereka karena rasa dengki diantara sesama mereka.
c)      Menyingkap perilaku orang munafik, menganalisi kejiwaannya, membuka kedoknya dan menjelaskan bahwa ia berbahaya bagi agama.
d)     Suku kata dan ayat-ayatnya panjang-panjang dan dengan gaya bahasa yang memantapkan syariat serta menjelaskan tujuan dan sasarannya. [2]
D.    Urgensi Pengetahuan Tentang Makkiyyah Dan Madaniyyah
Manna’ Al-Qaththan mendeskripsikan urgensi mengetahui Makkiyyah dan Madaniyyah sebagai berikut.
§  Membantu dalam menafsirkan Al-Qur’an
§  Pedoman bagi langkah-langkah dakwah
§  Memberi informasi tentang sirah kenabian [3]
BAB III
MUHKAM DAN MUTASYABIH
A.    Pengertian muhkam dan mutasyabih
          Muhkam secara bahasa berasal dari kata hakama.kata hukm berarti memutuskan antara dua hal atau lebih perkara,maka hakim adalah orang yang mencegah yang zalim dan memisahkan dua pihak yang sedang bertikai.sedangkan muhkam adalah sesuatu yang di kokohkan,jelas,fasih dan membedakan antara yang hak dan yang bathil.dengan pengertian inilah allah mensifati alquran dengan muhkam,sebagaimana di tegaskan dalam firmannya yang berarti :
“inilah suatu kitab yang ayat ayatnya di susun dengan rapi serta di jelaskan secara terperinci yang di turunkan dari sisi tuhan yang maha bijaksana lagi maha tahu.”
            Sedangkan mutasyabih secara lughowi berasal dari kata syabaha,yakni bila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain.syubhah ialah keadaan dimana satu dari dua hal itu tidak dapat di bedakan dari yang lain karena adanya kemiripan diantara keduanya secara konkrit atau abstrak.dengan pengertian ini allah menyebut alquran sebagai kitaban mutasyabihan matsani,yang tertera dalam alquran surat az zumar:23 yang artinya:
“allah yang menurunkan perkataan yang paling baik,yaitu alquran yang mutasyabih dan berulang-ulang yang karenanya bergetarlah kulit orang yang takut kepada tuhan mereka”.
           Dalam khasanah intelektual klasik maupun modern,di temukan berbagai variasi tentang makna istilah kedua pengertian di atas.Subhi ash-shalih merangkum pendapat ulama dan menyimpulkan bahwa muhkam adalah ayat ayat yang bermakna jelas.sedangkan mutasyabih adalah ayat yang maknanya tidak jelas,dan untuk memastikan pengertiannya tidak di temukan dalil yang kuat.ketidakjelasan itu bias jadi karena ayatnya bersifat global(mujmal) sehingga membutuhkan rincian,atau membutuhkan ta’wil(muawwal),atau karena samar dan sukar di mengerti(musykil).
B.     .Macam-macam Ayat Mutasyabihat
           Macam-macam ayat mutasyabihat ada 3 macam,yaitu sebagai berikut:
1.      .ayat-ayat mutasyabihat yang tidak dapat di ketahui oleh seluruh umat manusia,kecuali Allah SWT.Contohnya seperti Dzat allah SWT,hakikat sifat-sifat-NYA,waktu datangnya hari kiamat,dan sebagainya.Hal-hal ini termasuk urusan ghaib yang hanya di ketahui oleh Allah SWT.
2.      Ayat-ayat mutasyabihat yang dapat di ketahui oleh semua orang dengan jalan pembahasan dan pengkajian yang mendalam.Contohnya seperti merinci yang mujmal,menentukan yang kmusytara,mengqayyidkan yang mutlak, menertibakan yang kurang tertib,dan sebagainya.
3.      Ayat-ayat mutasyabihat yang hanya dapat diketahui oleh para pakar ilmu dan sain,bukan oleh semua orang,apalagi orang awam.hal ini termasuk urusan-urusan yang hanya diketahui oleh Allah SWT dan orang-orang yang rasikh(nendalam)imu pengetahuannya.
C.     Ciri-ciri Muhkam dan mutasyabih                                                                                                                        
           # Muhkam #
-Ayat-ayatnya dapat diketahui.
-ayat-ayatnya hanya mengandung satu segi.
-ayat-ayatnya mengandung maksud secara langsung.
-semua ayat-ayatnya makkiyah.
           # Mutasyabihat #
-tidak bisa diketahui ayat-ayatnya,kecuali Allah SWT.
-Ayat-ayatnya mengandung banyak segi.
-memerlukan penjelasan,yang di jelaskan oleh Allah SWT atau Rasulullah.
-kebanyakan ayat-ayatnya madaniyyah.
D.    Pendapat para ulama mengenai ayat mutasyabihat
            Apakah arti dan maksud ayat-ayat mutasyabihat itu dapat diketahui oleh umat manusia atau tidak,ada dua pendapat diantara para ulama.sebagian ulama mengatakan, bahwa arti dan ayat-ayat mutasyabihat itu dapat diketahui oleh umat manusia,sebagian ulama lain mengatakan tidak dapat.Yang menjadi pangkal perselisihan,ialah mereka berbeda pendapat dalam memahami ayat 7 surah ali imran.Yang mereka perselisihkan ialah apakah kalimat: Warrasikhuuna fil’ ilmi itu diathafkan (disambungkan) dengan lafal Allah yang sebelumnya,sedang kalimat yaquuluuna aamanna bihi itu menjadi hal dari ar-Raasikhuuna? Ataukah kalimat War Raasikhuuna fil’ilmi itu menjadimubtada’(subjek),sedang kalimat yaquuluuna aamanna bihi itu menjadi khabar (predikatnya),sedang huruf wawu sebagai tanda isti’naf(tanda permulaan).
1.      Imam Mujahid dan sahabat-sahabatnya serta imam nawawi memilih pendapat pertama,yakni bahwa kalimat: Ar-Raasikhuuna fil’ilmi itu diathafkan kepada lafal Allah.pendapat ini berasal dari riwayat ibnu abbas.Imam nawawi mengatakan ,bahwa pendapat pertama itulah yang lebih shahih.Sebab,adalah imposible(tidak mungkin) Allah itu akan mengkhithab hamba-NYA dengan sesuatu yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya.
2.      Kebanyakan sahabat,tabi’in dan tabi’it tabi’in serta orang-orang setelah mereka,memilih pendapat kedua.yakni, bahwa kalimat War-Raasikhuuna fil’ilmi itu menjadi mubtada’(subjek),sedang khabar(predikat)nya adalah kalimat yaquuluuna aamanna bihi.Dan,riwayat ini adalah lebih shahih disbanding dengan riwayat lainnya.dalil yang mendasari pendapat kedua ini adalah sebagai berikut:
*      riwayat Abd.razzaq dalam tafsirnya dan riwayat Al-Hakim dalam mustadraknya,berasal dari ibnu Abbas r.a,bahwa dia membaca: Bacaan itu menunjukkan bahwa huruf wawu trsebut menjadi permulaan,sehingga kalimat:War-Raasikhuuna fil’ilmi menjadi subjek dan yaquuluuna menjadi predikatnya.
*      ayat 7 surat ali imran mencela orang-orang yang mencari ayat-ayat mutasyabihat dan menyifati mereka dengan condong kepada kesesatan dan mencari-cari fitnah.Dan dalam ayat itu Allah SWT memuji mereka yang menyerahkan urusan-urusan yang samar itu kepada Allah SWT .
*      Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim dan lain-lain dari aisyah.Dia mengatakan bahwa Rasulullah SAW setelah membaca ayat 7 surah Ali Imran itu,beliau bersabda: “Makakalau kamu melihat mereka yang mencari hal-hal yang samar itu,maka mereka itulah yang dinamakan Allah,maka hindarilah mereka itu”.
            Hal-hal yang tampak adanya pertentangan diantara para ulama ialah perselisihan mereka mengenai apakah ayat-ayat mutasyabihat itu harus ditafsiri agar diketahui arti maksudnya untuk diamalkan? Ataukah tidak perlu di tafsiri dan cukup diimani eksistensinya saja,soal artinya serahkan kepada Allah SWT saja?.
E.     Hikmah adanya muhkamat dan mutasyabihat
            Rahasia terbaginya ayat-ayat al-quran menjadi muhkamat dan mutasyabihat,antara lain:
»        Pertama,andaikan seluruh ayat al-quran dari ayat-ayat muhkamat,niscaya akan sirnalah ujian keimanan dan amal lantaran pengertian ayat yang jelas.
»        Kedua,seandainya seluruh al-quran mutasyabihat,niscaya akan lenyaplah kedudukannya sebagai penjelas dan petunjuk bagi manusia.Orang yang benar keimanannya yakain bahwa al-quran seluruhnya dari sisi Allah;segala yang dating dari sisi Allah pasti haq dan tidak mungkin bercampur dengan kebathilan.
»        Ketiga,al-quran yang berisi ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat,menjadi motivasi bagi umat islam untuk terus meneris menggali berbagai kandungannya sehingga mereka akan terhindar dari taklid,bersedia membaca al-quran dengan khusu’ sambil merenung dan berpikir.[4]
BAB IV
AQSAMUL QUR’AN
A.    Pengertian Qasam (Aqsamul Qur’an)
Menurut bahasa, aqsam merupakan bentuk jamak dari kata qasam yang berarti sumpah. Sedangkan secara menurut istilah aqsam dapat diartikan sebagai ungkapan yang dipakai guna memberikan penegasan atau pengukuhan suatu pesan dengan menggunakan kata-kata qasam. Namun dengan pemakaiannya para ahli ada yang hanya yang menggunakan istilah al-Qasam saja seperti dalam kitab al-Burhan fi Ulumil Qur’an karangan imam Badruddin Muhammad bin Abdullah az-Zarkasyi. Ada juga yang mengidofatkanny dengan al-Qur’an, sehingga menjadi Aqsamul Qur’an seperti yang dipakai dalam kitab al-Itqan fi Ulumil Qur’an karangan Imam Jalaluddin as-Suyuthi. Kedua istilah tersebut hanya berbeda pada konteks pemakaian katanya saja, sedangkan maksudnya tidak jauh berbeda.
Kalau demikian maka yang dimaksud dengan aqsamul Qur’an adalah salah satu dari ilmu-ilmu tentang al-Qur’an yang mengkaji tentang arti, maksud, hikmah, dan rahasia sumapah-sumpah Allah yang terdapat dalam al-Qur’an. Selain pengertian diatas, qasam dapat puladiartikan dengan gaya bahasa Al-Qur’an menegaskan atau mengukuhkan suatu pesan atau pernyataan menyebut nama Allah atau ciptaan-Nya sebagai muqsam bih. Dalam Al-Qur’an, ungkapan untuk memaparkan qasam adakalanya dengan memakai kata aqsama, dan kadang-kadang dengan menggunakan kata halafa.
B.     Unsur-unsur Qasam 
            Bentuk atau shighat qasam yang asli terdapat dalamsurat An-Nahl ayat:38
Bentuk-bentuk qasam yang asli terdiri dari tiga unsur, yaitu:
a)      Harus ada fi’il qasam yang dimuta’addikan dengan huruf “ba’”, seperti”
b)      Harus terdapat muqsam bih atau penguat sumpah, yaitu sumpah itu harus diperkuat dengan sesuatu yang diagungkan oleh yang bersumpah.
c)       Harus ada muqsam alaih (berita yang diperkuat dengan sumpah itu), yaitu berupa ucapan yang ingin diterima atau dipercaya oleh orang yang mendengar, lalu diperkuat dengan sumpah tersebut.
C.     Jenis-Jenis Aqsamul Qur’an
            Dilihat dari segi fi’ilnya, qasam al-Qur’an ada dua macam. Yaitu:
a)       Qasam Dzahir, yaitu qasam yang fi’il qasamnya disebutkan bersama dengan muqsam bihnya. Contoh:surat Al-Ma’arij:40,surat Al-Qiyamah:1-3.
b)       Qasam Mudhmar (qasam tersimpan) yaitu qasam yang fi’il qasam danmuqsam bihnya tidak disebutkan, karena kalimat sebelumnya terlalu panjang. Contoh:surat Ali Imran:186
Apabila qasam ditinjau dari muqsam bihnya, maka qasam itu ada tujuh macam, yaitu:
a)      Qasam dengan menggunakan dzat Allah swt. contoh:surat Al-Hijr:92
b)      Qasam dengan perbuatan-perbuatan Allah swt. contohsurat Asy-Syams:5
c)      Qasam dengan yang dikerjakan Allah. Contohsurat Ath-Thur:1
d)     Qasam dengan malikat-malaikat Allah. Contohsurat An-Nazi’at:1-3
e)      Qasam dengan nabi Allah swt., seperti surst Al-Hijr:72
f)       Qasam dengan makhluk Allah. Contohsurat At-Tin:1-2
g)      Qasam dengan waktu. Contohsurat Al-Ashr:1-2
D.    Bentuk-bentuk Aqsamul Qur’an
1.       Bentuk Pertama: Bentuk Asli
Bentuk asli dalam sumpah ialah bentuk sumpah yang terdiri dari tiga unsur, yaitu fi’il sumpah yang dimuta’addikan dengan ba’, muqsam bih dan  muqsam alaih seperti contoh-contoh di atas.
2.      Bentuk Kedua: Ditambah huruf La
Kalimat yang digunakan orang untuk bersumpah itu memakai berbagai macam bentuk. Begitu pula dalam al-Qur’an ada bentuk sumpah yang keluar dari bentuk asli sumpah. Misalnya bentuk sumpah yang ditambah huruf La di depan fi’il qasamnya, sepertisuratAl-Ma’arij:40,suratAl-Waqi’ah:75,suratAl-Insyiqaq:16,suratAl-Haqqah:38.
E.     Faedah Aqsam dalam Al-Qur’an
Qasam merupakan salah satu penguat perkataan yang masyhur untuk memantapkan dan memperkuat kebenaran sesuatu di dalam jiwa. Qur’an al-Karim diturunkan untuk seluruh manusia, dan manusia mempunyai sikap yang bermacam-macam terhadapnya. Di antaranya ada yang meragukan, ada yang mengingkari dan ada pula yang amat memusuhi. Karena itu dipakailah qasam dalam Kalamullah, guna menghilangkan keraguan, melenyapkan, kesalahpahaman, menegakkan hujjah, menguatkan khabar dan menerapkan hukum dengan cara paling sempurna.[5]
BAB  V
AMSTAL DALAM AL-QUR’AN
A.    Definisi amtsal
Secara etimologi kata amtsal berasal dari bentuk jamak (plural), mufrad (singular) adalah mastal (مثل) atau mitsl (مثل). Arti dan bentuknya persis seperti شبه dan مثل : Seperti, serupa, laksana, bagaikan.
Agar para pembaca lebih bisa memahami pengertian tentang amstal, maka kami akan membagi pengertian amtsal secara etimologi yaitu:
a)      Amstal kata dalam bentuk jamak darei mufrod “mitsil”. Kata “mitsil” mengandung arti serupa dengan yang lain. Antara keduanya terdapat kemiripan sehingga yang satu dapat menjadi penjelasan atau gambaran bagi yang lain.
b)       Menurut al mubarrad beliau mengatakan bahwa kata “mitsil” yaitu kata-kata yang mejelaskan bahwa yang pertama seperti yang kedua. Di antara keduanya terdapat ikatan, yakni persamaan.
c)      Kata-kata yang dibentuk sedemikian rupa yang sudah berlaku untuk memperserukan sesuatu hal, dipersamakan dengan apa yang tercantum di dalam matsal.
d)     Adapula kata-kata yang berada di dalam cerita yang sangat sederhana, yang mulanya berasal dari lisan binatang, burung, tumbuh-tumbuhan atau benda biasa dalam rangka memberikan penyuluhan atapun nasehat.
e)      Adapaun pendapat dari ulama bayan bahwasanya amtsal adalah majaz murakkab yang alaqoh-nya musyabbahah.
f)       Amtsal adalah kalimat yang dibuat orang untuk memberikan kesan serta menggerakkan hati nurani, yang apabila didengar terus dapat menyentuh bagian hati yang paling dalam.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa amtsal Al-Qur’an adalah ilmu yang menerangkan tentang majaz, perbandingan, penyerupaan sesuatu dengan yang lain dalam Al-Qur’an.
A.     Macam-macam amtsal Al-Qur’an
Berikut ini adalah macam-macam amtsal dalam Al-Quran:
1)      Amtsal Mursarrahah
Amtsal mursalah ialah yang didalamnya dengan lafaz amsal atau sesuatu yang menunjukkan tasybih Amsal seperti ini banyak ditemukan dalam Al-Qur’an diantaranya: Firman Allah mengenai orang munafik,“Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan apiMaka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat”. Di dalam ayat-ayat ini Allah membuat dua perumpamaan (matsal) bagi orang munafik; matsal yang berkenaan dengan api (nar) dalam firman-Nya “adalah seperti orang yang menyalakan api. Karena di dalam api terdapat unsur cahaya; dan masal yang berkenaan dengan api (nari) atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit…”
2)      Amtsal Kaminah
Amtsal kaminah ialah ayat didalamnya tidak disebutkan dengan jelas lafadz tamsil, tetapi menunjukkan makna-makna yang indah, menarik dalam kepadanya redaksinya, dan mempunyai pengaruh tersendiri bila dipindahkan kepada yang serupa dengannya .
Perumpamaan yang tersirat pada amtsal kaminah bersifat pada makna dan penuh pesona bahasa, sehingga dapat memberikan perumpamaan yang lebih tepat pada sasaran yang diperbandingkan dan kesannya pun akan lebih mudah diserap.
Ada beberapa contoh mengenai hal ini diantaranya ayat-ayat ilahi yang bertendensikan pada pembentukan cara hidup dalam batas-batas kewajaran misalnya:
§  Ayat-ayat yang senada dengan perkataan (sebaik-baiknya urusan adalah pertengahannya) Contohnya: (QS al Baqarah : 68) “Sapi betina yang ada tidak tua dan tidak muda, pertengahan antara itu ……”
§  Ayat yang senada dengan perkataan (khabar tidak sama dengan menyaksikan sendiri) contohnya (QS al Baqarah : 260)“Allah berfirman: Belum yakinkah kamu? “Ibrahim menjawab: “Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)”
3) Amtsal Mursalat
Mursalat berarti ungkapan lepas yang tidak terkait dengan lafadz tasybih, tetapi ayat-ayat itu digunakan seperti penggunaannya peribahasa. Secara selintas, ciri utamanya adalah sama dengan ciri utama peribahasa, ungkapan atau kalimatnya ringkas; berisikan perbandingan, perumpamaan, nasehat, prinsip hidup, atau aturan tingkah laku.
Ada beberapa contoh : " …Bukankah subuh itu sudah dekat” “Tidak sama yang buruk dengan yang baik…”
Dalam masalah amtsal mursalah ulama berbeda pendapat tentang apa dan bagaimana hukum menggunakannya sebagai matsal dalam uraian ini ada 2 pendapat:
·         Pendapat pertama mengatakan bahwa orang yang mempergunakan amtsal mursalah telah keluar dari adab Al-Qur’an. Alasannya adalah karena Allah telah menurunkan Al-Qur’an bukan untuk dijadikan matsal tetapi untuk direnungkan dan diamalkan isi kandungannya.
·         Pendapat kedua mengatakan bahwa tidak ada halangan bila seseorang mempergunakan Al-Qur’an sebagai matsal dalam keadaan sungguh-sungguh. Misalnya ada seseorang diajak untuk mengikuti ajarannya, maka ia bisa menjawab bagimu agamamu dan bagiku agamaku.
A.     Hikmah mengetahui amtsal dalam Al-Qur’an
           Beberapa hikmah mengetahui amtsal dalam al-Quran;
ü  Menonjolkan sesuatu yang abstrak dalam bentuk kongkrit yang dirasakan indra manusia sehingga akal muda menerimanya
Contoh:
“Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah Dia bersih (tidak bertanah). mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir” (QS. Al-Baqoroh 264) 
ü  Menyingkapkan hakikat-hakikat dan mengemukakan sesuatu yang tidak tampak menjadi seakan-akan tampak
Contoh:
"orang-orang yang Makan (mengambil) riba[174] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila"(QS. Al-Baqoroh:275)
ü  Mengumpulkan makna yang menarik lagi indah dalam ungkapan yang padat, seperti contoh yang terdapat pada amtsal kaminah dan mursalah
ü  Mendorong orang yang diberi matsal untuk berbuat sesuai dengan isi matsal jika isinya disenangi jiwa
Contoh:
"perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui".(Al-Baqoroh : 261)
ü  Meningalkan isi matsal jika isi matsal itu berupa sesuatu yang dibenci
Contoh:
“dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah”. (QS. Al-Hujurat : 12)
ü  Untuk memuji orang yang diberi matsal.
Contoh:                                         
“Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, Yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah Dia dan tegak Lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin).”(QS. Al-Fath:29)
ü  Untuk menggambarkan sesuatu yang mempunyai sifat yang dipandang buruk oleh orang banyak.
Contoh:
"dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian Dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu Dia diikuti oleh syaitan (sampai Dia tergoda), Maka jadilah Dia Termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki," Sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi Dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, Maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya Dia mengulurkan lidahnya (juga). demikian Itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka Ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.” (Al-A’raf:175-176)
ü  Amtsal akan lebih berpengaruh kepada jiwa, lebih efektif dalam membenrikan nasihat, lebih kuat dalam memberikan peringatan, dan lebih dapat memuaskan hati
Contoh:
“Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam Al Quran ini Setiap macam perumpamaan supaya mereka dapat pelajaran.” (Az-Zumar : 27)
“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (al-‘Ankabut : 43).
BAB VI
QIRAAT AL-QURAN
A.    Pengertian Qira’at al-Qur’an
Secara etimologi, lafal qira’at ( قراءة ) merupakan bentuk masdar dari ( قرأ ) yang artinya bacaan. Sedangkan menurut terminologi, terdapat berbagai pendapat para ulama yang sehubungan dengan pengertian qira’at ini.Menurut Al-Dimyathi sebagaimana dikutip oleh Dr. Abdul Hadi al-Fadli bahwasanya qira’at adalah: “Suatu ilmu untuk mengetahui cara pengucapan lafal-lafal al-Qur’an, baik yang disepakati maupun yang diikhtilapkan oleh para ahli qira’at, seperti hazf (membuang huruf), isbat (menetapkan huruf), washl (menyambung huruf), ibdal (menggantiukan huruf atau lafal tertentu) dan lain-lain yang didapat melalui indra pendengaran.”
Sedangkan menurut Imam Shihabuddin al-Qushthal, qira’at adalah “Suatu ilmu untuk mengetahui kesepakatan serta perbedaan para ahli qira’at, seperti yang menyangkut aspek kebahasaan, i’rab, isbat, fashl dan lain-lain yang diperoleh dengan cara periwayatan.”[6]
Dari definisi-definisi di atas, tampak bahwa qira’at al-Qur’an berasal dari Nabi Muhammad SAW, melalui al-sima dan an-naql. Berdasarkan uraian di atas pula dapat disimpulkan bahwa:
Ø   Yang dimaksud qira’at dalam bahasan ini, yaitu cara pengucapan lafal-lafal al-Qur’an sebagaimana di ucapkan Nabi atau sebagaimana diucapkan para sahabat di hadapan Nabi lalu beliau mentaqrirkannya.
Ø  Qira’at al-Qur’an diperoleh berdasarkan periwayatan Nabi SAW, baik secara fi’liyah maupun taqririyah.
Ø  Qira’at al-Qur’an tersebut adakalanya memiliki satu versi qira’at dan adakalanya memiliki beberapa versi.[7]
B.       Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qira’at
1.      Latar Belakang Historis
          Qira’at sebenarnya telah muncul sejak zaman Nabi walaupun pada saat itu qira’at bukan merupakan sebuah disiplin ilmu, ada beberapa riwayat yang dapat mendukung asumsi ini, yaitu :
Menurut catatan sejarah, timbulnya penyebaran qira’at dimulai pada masa tabi’in, yaitu pad awal abad II H, tatkala para qari’ tersebar di berbagai pelosok, telah tersebar di berbagai pelosok. Qira’at-qira’at tersebut diajarkan secara turun-menurun dari guru ke murid, sehingga sampai  kepada imam qira’at baik yang tujuh, sepuluh atau yang empat belas.
2.      Latar Belakang cara penyampaian (kaifiyat al-ada’)
                Menurut analisis yang disampaikan Sayyid Ahmad khalil, perbedaan qira’at itu bermula dari bagaimana seorang guru membacakan qira’at itu kepada murid-muridnya. Hal itulah yang mendorong beberapa utama mencoba merangkum bentuk-bentuk perbedaan cara menghafalkan Al-Qur’an itu sebagai berikut :
1)      Perbedaan dalam I’rab atau harakat kalimat tanpa perubahan makna dan bentuk kalimat, misalnya pada firman Allah pada surat An-nisa’ ayat 37 tentang pembacaan “Bil Buhkhli” (artinya kikir), disini dapat dibaca dengan harakat “Fatha” pada huruf Ba’-nya, sehingga dibaca Bil Bakhli, dapat pula dibaca “Dhommah” pada Ba’-nya, sehingga menjadi Bil Bukhli.
2)      Perbedaan I’rab dan harakat (baris) kalimat sehingga mengubah maknanya, misalnya pada firman Allah surah Saba’ ayat 19, yang artinya “ Ya Tuhan kami jauhkanlah jarak perjalanan kami “. Kata yang diterjemahkan menjadi jauhkanlah diatas adalah “ba’id karena statusnya fi”il amar, maka boleh juga dibaca ba’ada yang berarti kedudukannya menjadi fi’il mahdhi artinya telah jauh
3)      Perbedaan pada perubahan huruf tanpa perubahan I’rab dan bentuk tulisannya, sedangkan maknanya berubah, misalnya pada firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 259, yang artinya “dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian kami menyusunnya kembali.”
4)      Perubahan pada kalimat dengan perubahan pada bentuk tulisannya, tetapi maknanya tidak berubah, misalnya pada firman Allah dalam surah Al-Qoria’ah ayat : 5, yang artinya “……..dan gunung-gunung seperti bulu yang dihamburkan “. Dalam ayat tersebut terdapat bacaan “kal-ih-ni” dengan “ka-ash-shufi” sehingga kata itu yang mulanya bermakna bulu-bulu berubah menjadi bulu-bulu domba.
5)      Perbedaan pada kalimat yang menyebabkan perubahan bentuk dan maknanya, misalnya pada ungkapan “thal in mandhud” menjadi “thalhin mandhud”
6)      Perbedaan dalam mendahulukan dan mengakhirkannya, misalnya pada firman Allah dalam surah Qof ayat : 19, yang artinya “dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya”.
7)      Perbedaan dengan menambahi dan mengurangi huruf, seperti pada firman Allah dalam surah al-Baqarah: 25, yang artinya “…surge-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya.”[8]
C.     Macam-macam Qira’at
v  Dari segi kuantitas
1.   Qiraah sab’ah (qiraah tujuh) Kata sab’ah artinya adalah imam-imam qiraat yang tujuh.
2.   Qiraat Asyrah (qiraat sepuluh)Yang dimaksud qiraat sepuluh adalah qiraat tujuh yang telah disebutkan di atas ditambah tiga qiraat
3.   Qiraat Arba’at Asyarh (qiraat empat belas) Yang dimaksud qiraat empat belas adalah qiraat sepuluh sebagaimana yang telah disebutkan di atas ditambah dengan empat qiraat lagi, yakni : al-Hasan al-Bashri (w. 110 H), Muhammad bin Abdurrahman (w. 23 H), Yahya bin al-Mubarak al-Yazidi and-Nahwi al-Baghdadi (w. 202 H), Abu al-Fajr Muhammad bin Ahmad asy-Syambudz (w. 388 H).
v  Dari segi kualitas
Berdasarkan penelitian al-Jazari, berdasarkan kualitas, qiraat dapat dikelompokkan dalam lima bagian.
1.      Qiraat Mutawatir, yakni yang disampaikan sekelompok orang mulai dari awal sampai     akhir sanad, yang tidak mungkin bersepakat untuk berbuat dusta. Umumnya, qiraat yang ada masuk dalam bagian ini.
2.      Qiraat Masyhur, yakni qiraat yang memiliki sanad sahih dengan kaidah bahasa arab dan tulisan Mushaf utsmani. Umpamanya, qiraat dari tujuh yang disampaikan melalui jalur berbeda-beda, sebagian perawi, misalnya meriwayatkan dari imam tujuh tersebut, sementara yang lainnya tidak, dan qiraat semacam ini banyak digambarkan dalam kitab-kitab qiraat.
3.      Qiraat Ahad, yakni yang memiliki sanad sahih, tetapi menyalahi tulisan Mushaf Utsmani dan kaidah bahasa arab, tidak memiliki kemasyhuran dan tidak dibaca sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan.
4.       Qiraat Syadz, (menyimpang), yakni qiraat yang sanadnya tidak sahih. Telah banyak kitab yang ditulis untuk jenis qiraat ini.
5.       Qiraat Maudhu’ (palsu), seperti qiraat al-Khazzani As-Suyuthi kemudian menambah qiraat yang keenam, yakni qiraat yang menyerupai hadits Mudraj (sisipan), yaitu adanya sisipan pada bacaan dengan tujuan penafsiran. Umpamanya qiraat Abi Waqqash.[9]
BAB VII
TAFSIR,TA’WIL DAN TERJEMAH
A.    Pengertian Tafsir
Secarasingkat tafsir adalah suatu upaya mencurahkan pemikiran untuk memahami,memikirkan dan mengeluarkan hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an agar dapatdiaplikasikan sebagaian dasar utama penetapan hukum . Pada Al-Qur’an istilahtafsir di sebutkan dalam suratAl-Furqan :33,”tidakkah orang-rang kafir itu datang kepadamu (membawa) seuatuyang ganjil melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yangpaling baik penafsirannya(penjelasannya)”. Katatafsir merupakan masdar dari kata fasara yang mempunyai arti keadaan jelas(nyata dan terang) dan memberikan penjelas. Paraulama kebanyakan memberikan pengertian tentang tafsir pada intinya untukmenjelaskan hal-hal yang masih samar yang di kandung dalam Al-Qur’an sehinggadengan mudah dapat dimengerti, mengeluarkan hukum yang terkandung didalamnyauntuk diterapkan dalam kehidupan sebagai suatu ketentuan hokum.[10]
B.     Ta’wil
Ta’wil berasal dari kata “ Aul “ yang berarti kembali ke asal. Ta’wil kalam  ada dua macam. Pertama Ta’wil kalam dengan pengertian suatu makna yang \ mutakalim (pembicaraan) mengembalikan perkataannya (kalamnya dikembalikan). Kalam ada dua yaitu insak dan ikbar salah satu contoh insak adalah Amr (kalimat perintah). Makna Ta’wilul Amr ialah esensi perbuatan yang diperintah misalnya Allah berfirman: Maka bertasbilah dengan memuji  tuhanmu dan mohonlah ampun kepadanya. (Sesungguhnya dia Maha Penerima Taubat). An-Nasr 110 : 3. Sedang ta’wil ikbar adalah esensi dari apa yang diberitakan itu sendiri yang benar-benar terjadi misalnya firman allah. Dan sungguh kami telah mendatangkan kitab (Quran) kepada mereka yang kami telah menjelaskan atas dasar pengetahuan kami, menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. Tiadalah mereka menunggu kecuali ta’wilnya pada hari ta’wilnya itu datang, berkatalah orang-orang yang melupakannya sebelum itu “ sungguh telah datang rasul-rasul tuhan kami membawa yang hak maka adalah bagi kami pemberi safaat yang akan memberikan safaat bagi kami/dapatkah kami kembalikan ( kedunia ) sehingga kami dapat beramal yang lain dari yang pernah kami amalkan ( Al-A’raf 7 : 52-53 ). Kedua Takwilul kalam dalam arti menafsirkan dan menjelaskan maknanya jadi yang dimaksud kata ta’wil di sini adalah tafsir. Ta’wil dalam tradisi muta’ahirin adalah:memalingkan makna lafaz yang kuat (rajah) kepada makna yang lemah (merjuh) karma ada dalil yang menyertainya. Di antara para ulama ada yang membedakan antara makna tafsir dan ta’wil yaitu Zarkasi: Ibn faris menjelaskan: makna-makna ungkapan yang menggambarkan sesuatu itu kembali kepada 3 kata: makna, tafsir, ta’wil “ Tafsir menurut bahasa mengacu kepada arti “menampakkan & menyingkap  ”. kata tafsir ini mengacu juga kpada arti menyingkap. Dengan demikian tafsir berarti menyingkap apa yang dimaksud lafaz dan melepaskan ap yang tertahan dari pemahaman.“Ta’wil menurt bahasa berasal dari “aul”. Dengan demikian ta’wil seakan-akan memalingkan ayat kpd makna-makna yang dapat di terimanya. Kata ta’wil di bentuk dengan pola “TAF’IL”adalah untuk menunjukkan arti banyak.[11]
C.        Terjemah
Terjemah berasal dari bahasa arab yang berrti memindahkan makan lafal kedalam bahasa lain. Menurut pengertian istilah ‘urfi’: terjemah ialah memindahkan pembicaraan dari satu bahasa kedalam bahasa lain dengan kata lain terjemah ialah memindahkan makna kata bahasa pertama kepada kedua.
a.        Pembagian terjemah
*       terjemah harfiyah, yaitu yang kata perkatanya sangat terikat dengan kosa kata yang ada dalam bahasa pertama, sehingga seakan-akan hanya menggantikan makna kata-kata itu pada urutan dan tempatnya masing-masing secara sama.
*      terjemah tafsiriyah, yaitu terjemah yang mengungkapkan makna kedalam bahasa kedua kata perkatanya tidak terikat dengan kosa kata yang ada dalam bahasa pertama. Terjemah ini dinamakan terjemah tafsiriyah karena dalam mengungkapakan makna yang dimaksud hamper nenyerupai tafsir.
b.               Syarat-syarat terjemah
            Ada empat yang harus diperhatikan dalam menterjemah, yaitu:
1)      benar-benar mengetahui dan menghayati kedudukan dan aspek-aspek bahasa yaitu bahasa pertama dan kedua
2)       mengetahui tentang pola kalimat dan cirri-ciri khas kedua bahasa
3)      terpenuhinya semua makna dan maksud yang ada pada bahasa pertama dengan mantap
4)       bahasa terjemah seharusnya benar-benar murni, artinya bahawa terjemahan harus benar-benar memindah makna bahasa pertam kebahasa lain.[12]
D.           Perbedaan Tafsir, Ta’wil dan Terjemah
§  Perbedaan Tafsir dan Ta’wil
o   Tafsir adalah menafsirkan perkataan dan menjelaskan maknanya. Maka “ta’wil “dan “tafsir” adalah 2 kata yang berdekatan atau sama maknanya.
o   Ta’wil adalah esensi yang dimaksud dari suatu perkataan, maka ta’wil dari talab (tuntunan) adalah esensi perbuatan yang dituntut itu sendiri dan ta’wil dari khobar adalah esensi sesuatu yang diberitakan.
Dari 2 pengertian di atas tafsir dan ta’wil punya perbedaan cukup jauh. Kalau tafsir adalah saran dan penjelasan bagi suatu perkataan yang berada dalam suatu pikiran dengan cara memahaminya dengan suatu ungkapan yang menunjukkannya. Sedangkan ta’wil adalah esensi susuatu yang berada dalam realita ( bukan dalam pikiran ).Tafsir adalah apa yang telah jelas di dalam kitabullah atau tertentu ( pasti ) dalam sunnah yang sahih karena maknannya sudah jelas. Ta’wil adalah apa yang disimpulkan ulama. Karena ulama mengatakan tafsir adalah apa yang berhubungan dengan riwayat, sedangakn ta’wil adalah apa yang berhubungan dengan dirayah. Tafsir lebih banyak digunakan ( untuk menerangkan ) lafaz-lafaz dan mufrodat (kosakata) ta’wil lebih banyak dipakai dalam ( menjelaskan ) makna dan susunan kalimat.
§  Perbedaan Tafsir dengan Terjemah
Tafsir dengan terjemah, baik terjemah harfiyah maupun tafsiriyah tidak sama. Antar keduanya ada perbedaan-perbedaan antara lain:
1)      pada terjemah terjadi perpindahan bahasa dengan kata tidak ada lagi bahasa pertama yang melekat pada bahasa terjemah, tidak demikian halnya dengan tafsir. Tafsir selalu ada keterkaitan pada bahasa asalnya
2)       pada terjemah tidak boleh melakukan istidhrad yaitu penguraian yang meluas yang melebihi dari sekedar pemindahan bahasa, sedangkan tafsir boleh.
3)       pada terjemah dituntut terpenuhinya semua makna dan maksud yang ada pada bahasa yang diterjemahkan, tidak halnya demikian dengan tafsir.
4)       pada terjemah harus diakui bahwa sipenterjemah sudah melakukan terjemahan,sejau ia telah berhasil memindahkan makna bahasa pertama kebahasa terjemah,sedangkan tafsir tidak.
E.     Corak dan Pendekatan Tafsir
1.      Tafsir shufi
Tafsir shufi sebut juga dengan tafsir Isyari yaitu penafsiran orang-orang sufi terhadap al-Qur’an yang bermula dari anggapan bahwa riyadhah (latihan) rohani yang dilakukan seorang sufi bagi dirinya akan menyampaikan ke suatu tingkatan di mana ia dapat menyingkapkan isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan al-Qur’an dan akan tercurah pula ke dalam hatinya dari limpahan ghaib.  Salah satu contoh dalam penafsiran dengan metode shufi adalah Surah An-Nisa’ ayat 1 Secara lahir, ayat tersebut berarti “Wahai sekalian manusia bertaqwalah kalian kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari satu diri (jenis)”. Salah satu tokoh tasawuf Ibn ‘Arabi menafsirkan ayat ini dengan penafsiran sebagai berikut: “Bertaqwalah kepada Tuhanmu. Jadikanlah bagian yang zhahir dari dirimu sebagai penjaga bagi Tuhanmu. Dan jadikanlah bagian batinmu yang adalah Tuhanmu itu, sebagai penjaga bagi dirimu. Karena perkaranya adalah perkara celaan dan pujian. Maka jadilah kalian pemelihara-Nya dalam celaan, dan jadikanlah Dia pemelihara kalian dalam pujian, niscaya kalian akan menjadi orang-orang yang paling beradan di seluruh alam”. Penafsiran seperti ini jelas dipengaruhi oleh faham wihdah al-wujud yang memandang alam ini merupakan Dzat Tuhan yang hakiki. Dalam pendekatan sufistik terdapat dua pendekatan pemahan yang berbeda, yaitu pendekatan sufistik nadzhary dan pendekatan sufistik amali. Secara sederhana pendekatan sufistik nadzhary diartikan sebagai model penafsiran yang menekankan pemaknaan kata dengan melihat makna batin sebuah ayat, atau dapat pula diartikan sebagai usaha penafsiran yang dilakukan oleh para sufi yang melakukan justifikasi al-Qur’an terhadap teori-teori sufistik, seperti konsep tentang Khauf, mahabbah, ma’rifah, hulul dan wihdat al-wujud. Sedangkan pendekatan sufistik amali adalah pendekatan yang dilakukan menggunakan analisis sufistik atau menakwilkan ayat-ayat al-Qur’an dari sudut esotorik atau berdasarkan isyarat tersirat yang tampak oleh seorang sufi dalam suluknya. Menurut Rosihan Anwar tafsir sufi dapat diterima jika memenuhi syarat-syarat berikut ini:
1. Tidak menafikan makna lahir (pengetahuan tekstual) Al-Qur’an.
2. Penafsiran diperkuat oleh dalil syara’ yang lain.
3. Penafsirannya tidak bertentangan dengan syara’ atau rasio.
4. Penafsiran tidak mengakui bahwa hanya penafsirannya (batin) itulah yang di kehendaki oleh Allah SWT, bukan pengertian tekstualnya. Sebaliknya, ia harus mengakui pengertian tekstual ayat terlebih dahulu . Adapun kitab-kitab Tasir Shufi adalah Tafasir Al-Qur’an Al-Azhim, karya Imam At-Tusturi ( wafat. 289 H ), Haqa’iq At-Tafsir, Karya Al-Allamah As-Sulami ( Wafat 412 H ), Aris Al-Bayan fi Haqa’iq Al-Quran, Karya Imam Asy-Syirazi ( Wafat 283 H ).[13]
2.        Tafsir Falsafi
Pendekatan tafsir falsafi atau pendekatan filosofis adalah upaya-upaya penafsiran dan pemaknaan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan filosofis. Dalam faktanya, penafsiran ini dilakukan setelah buku-buku filsafat yunani kuno banyak yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Selain itu juga dikarenakan banyak tokoh Islam yang berhasil mempelajari dan mengembangkan teori filsafat Yunani kuno yang dirasakan serasi dan sesuai dengan tuntunan agama, atau usaha-usaha penafsiran ayat tertentu dalam Al-Qur’an dengan menggunakan analisis disiplin Ilmu-Ilmu Filsafat. Adapun upaya yang ditempuh untuk menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan filosofis adalah : Pertama, dengan mentakwilkan teks-teks keagamaan (Al-Qur’an) dengan menggunakan berbagai pandangan dan teori filsafat. Paradigma atau asumsi-asumsi dasar mengenai tafsir falsafi adalah sebagai berikut:
a.       Ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki banyak kata atau ada kata-kata tertentu dalam Al-Qur’an yang dapat ditafsirkan dan kemungkinan besar sejalan dengan teori-teori filsafat.
b.      Ada sebagian orang yang merasa kagum atas teori-teori filsafat dan merasa mampu untuk mengkompromikan antara hikmah dan akidah dan antara filsafat dengan agama.[14]
.
BAB VIII
PENUTUP
o   “ Makkiyah ialah ayat yang diturunkan sebelum Nabi hijrah ke Madinah, sekalipun turunnya di luar Mekkah, sedang Madaniyahyah ialah yang diturunkan sesudah Nabi hijrah, sekalipun turunnya di Mekkah”.
o   Muhkam secara bahasa berasal dari kata hakama.kata hukm berarti memutuskan antara dua hal atau lebih perkara, muhkam adalah sesuatu yang di kokohkan,jelas,fasih dan membedakan antara yang hak dan yang bathil.
o    mutasyabih secara lughowi berasal dari kata syabaha,yakni bila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain.syubhah ialah keadaan dimana satu dari dua hal itu tidak dapat di bedakan dari yang lain karena adanya kemiripan diantara keduanya secara konkrit atau abstrak.
o   Menurut bahasa, aqsam merupakan bentuk jamak dari kata qasam yang berarti sumpah. Sedangkan secara menurut istilah aqsam dapat diartikan sebagai ungkapan yang dipakai guna memberikan penegasan atau pengukuhan suatu pesan dengan menggunakan kata-kata qasam.
o   menurut Imam Shihabuddin al-Qushthal, qira’at adalah “Suatu ilmu untuk mengetahui kesepakatan serta perbedaan para ahli qira’at, seperti yang menyangkut aspek kebahasaan, i’rab, isbat, fashl dan lain-lain yang diperoleh dengan cara periwayatan.
o   tafsir adalah suatu upaya mencurahkan pemikiran untuk memahami,memikirkan dan mengeluarkan hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an agar dapatdiaplikasikan sebagaian dasar utama penetapan hukum .
o   Ta’wil berasal dari kata “ Aul “ , Dengan demikian ta’wil seakan-akan memalingkan ayat kpd makna-makna yang dapat di terimanya.
o   terjemah ialah memindahkan pembicaraan dari satu bahasa kedalam bahasa lain dengan kata lain terjemah ialah memindahkan makna kata bahasa pertama kepada kedua.
DAFTAR PUSTAKA
Sya’roni, Sam’ani, TAFKIRAH ULUM AL-QUR’AN. (­­_;Al-Ghotasi Putra.2011).hal 72-87


[4] Sya’roni, Sam’ani, TAFKIRAH ULUM AL-QUR’AN. (­­_;Al-Ghotasi Putra.2011).hal 72-87
[7] http://ridwan202.wordpress.com/istilah-agama/qiraatul-quran/                                                                   
[11] http://hanumsyafa.wordpress.com/2010/01/28pengertian-tafsir-tawil-dan-terjemah/

[14] http://blog.uin-malang.ac.id/ivageje/2011/01/01/macam-macam-corak-tafsir/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar