BAB
I
PENDAHULUAN
Dari
segi bahasa mursal berasal dari kata arsala-yursilu-irsalan-mursalundengan
makna mutlaqun= terlepas atau bebas tanpa ada ikatan. Hadis dinamakan
mursal karena sanadnya ada yang terlepas atau gugur yakni dikalangan sahabat
atau tabi’in.Dalam istilah ada beberapa pendapat tentang pengertian hadis
mursal ini,
BAB
II
PEMBAHASAN
A.Hadis
Mursal
Dari
segi bahasa mursal berasal dari kata arsala-yursilu-irsalan-mursalundengan
makna mutlaqun= terlepas atau bebas tanpa ada ikatan. Hadis dinamakan
mursal karena sanadnya ada yang terlepas atau gugur yakni dikalangan sahabat
atau tabi’in.Dalam istilah ada beberapa pendapat tentang pengertian hadis
mursal ini, yaitu sebagai berikut.
1) Pendapat
mayoritas muhadditsindi antaranya Al-Hakim, Ibnu As-shalah, Ibnu Hajar
dan lain-lain. Hadis mursal adalah periwayatan tabi’in secara mutlak (baik
senior atau yunior) dari nabi.
2) Pendapat
fuqoha,usshuliyun dan segolongan dari muhaditsin di antaranya Al-Khathib Al-Baghdadi,
Abu Al-Hasan bin Al-Qhathan, dan Annawawi.hadis mursal adalah hadis yang
terputus isnadnya dimana saja dari sanad.
3) Pendapat
Baiquny. Hadis mursal adalah hadis yang gugur dari sanadnyaseorang sahabat.
4) Sebagian
ahli ilmu berpendapat.hadis mursal adalah periwyatan tabi’in senior dari nabi.
5) Menurut
sebagian ulama muhaditsin. Hadis mursal adalah hadis yang gugur dari akhir
sanadnya orang setelah tabi’in atau sahabat.
Dari beberapa
definisi di atas dpat dikompromikan bahwa hadis mursal adalah hadis yang
diriwayatkan oleh tabi’in dari nabi baik dari perkataan, perbuatan, atau
persetujuan , baik tabi’in senior atau yunior tanpa menyebutkan penghubung
antara seorang tabi’in dan nabi yaitu seorng sahabat. Sebagian pendapat
menegaskan, periwayatan tabi’in senior saja bukan tabi’in yunior, karena
mayorits periwayatan tabi’in senior dari sahabat, sedngkan periwayatan tabi’in
yunior dari nabi dimasukan munqhati’.Brbeda dengan pendapat fuqoha dan
ushuliyyun yang memandang mursal lebih umum di mana saja penggugurannya. Misalnya
seorag tabi’in mengatakan, bahwa nabi bersabda begini…. Atau berbuat
begini….dan seterusnya.Periwayatan seperti ini disebut mursal tabi’in.[1]
Definisinya yang
terkenal ialah: Hadis yang perawinya adalah sahabat yang digugurkan (tidak
disebut namanya), seperti perkataan Nafi: “Rasulullah saw bersabda demikian,
atau berbuat demikian, atau dikerjakan dihadapan beliau demikian” dan yang
serupa. Dengan demikian, hadis mursal adalah hadis yang mutlak marfu’ tabi’i,
besar atau kecil, dan disandarkan langsung kepada nabi saw. sebab kedlaifannya karena tidak adanya kesinambungan dalam sanad.
Disebut mursal, karena perawinya melepas hadis begitu saja, tanpa mengikatnya
dengan sahabat yang menerimanya dari Rasulullah saw.
Daripada itu, mayoritas ulama berhujjah dengan hadis-hadis mursal
sahabat.Mereka tidak menganggap hadis-hadis tersebut dhaif. Karena, sahabat
yang meriwayatkan hadis, yang mungkin tidak didengarnya sendiri dari Rasulullah
saw, biasanya diriwayatkan dari sahabat lain yang benar-benar menerimanya dari
nabi. Dengan demikian, gugurnya sahabat lain dari sanad tidaklah berpengaruh
apa-apa. Sebagaimana hadis juga tidak menjadi dhaif kalau perawinya tidak diketahui keadaannya.
Kemuliaan persahabatannya dengan nabi, cukup menjamin keadilannya.
As-Syuyuti berkata dalam At-Tadrib.Dalam Shahih Bukhari dan Shahih
Muslim terdapat banyak hadis mursal sahabat.Karena kebanyakan riwayatnya
bersumber pada sahabat.Mereka semuanya dikenal adil.Riwayatnya dari selain
mereka (selain sahabat) adalah langka.Kalaupun mereka meriwayatkan dari selain
sahabat, mereka tentu menjelaskannya.Justru kebanyakan hadis yang mereka
riwayatkan dari tabi’in bukan hadis marfu’, melainkan dongeng-dongeng
Israiliyat atau kisah-kisah atau hadis-hadis mauquf.
Sulit mengingkari mursal sahabat. Kebanyakan riwayat yang bersumber
dari Ibnu Abbas adalah mursal, karena usianya masih sangat muda pada masa hidup
Rasulullah saw, usianya tidak lebih dari 13 tahun ketika Rasulullah wafat.[2]
B.
Contoh Hadis Mursal
Misalnya : Ibnu Sa’ad berkata dalam
Thabaqt-nya : memberitakan kepada kami waki’ bin Al-Jarrah, memberitakan kepada
kami Al-A’masyhi dari Abu Shalih berkata : Rasulullah Saw bersabda :”wahai
manusia sesungguhnya Aku sebagai Rahmat yang dihadiahkan.”
Abu Shalih As-Salman Az-zayyat seorang
tabi’in, Dia menyandarkan berita hadis tersebut dari nabi tanpa menjelaskan perantara
sahabat yang menghubungkannya kepada Rasulallah Saw.[3]
C.
Macam-macam Hadis Mursal
Ada tiga macam hadis yaitu sebagai
berikut :
1) Mursal
tabi’i
Mursal
tabi’I sebagaiamana keterangan di atas.
2) Mursal
Shahabi
Mursal
Shahabi, yaitu periwayatan diantara sahabat yunior dari nabi Saw padahal mereka
tidak melihat dan tidak mendengar langsung dari beliau. Hal ini terjadi karena
usianya yang masih kecil seperti Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, dan lain-lain atau
masuk islam belakangan seperti Abu
Hurairah yang terbanyak meriwayatkan hadis dan dituduh oleh orientalis sebagai
pembohong hadis atau karena absen di majlis nabi Saw. Mereka hanya menukil dari
sahabat senior, tetapi mereka mengatakan nabi Saw bersabda…. Atau berbuat
begini….dan seterusnya.Periwayatan yang seperti ini dinamakan mursal Shahabi.
3) Mursal
Khafi
Mursal
Khafi adalah gugurnya perawi dimana saja tempat dari sanad diantara dua orang
perawi yang semasa tetapi tidak bertemu.
Contoh, hadis yang
diriwayatkan oleh Al-Awam bin Hausyab dari Abdullah bun Abu Aufa berkata :”
Adalah nabi saw ketika bilal membaca : telah berdiri shalat iqomat maka beliau
bergerak dan takbir”.
Al-Awwam
bin Hausyab tidak pernah bertemu dengan Abdullah bin Abu Aufa pdahal mereka
hidup semasa. Untuk mengetahui mursal Khafiini melalui keterangan
sebagian imam bahwa seorang perawi ini tidak pernah bertemu dengn pembawa
berita itu atau tidak pernah mendengar secara mutlak atau pengakuan perawi
sendiri bahwaiatidak pernah bertemu atau medengar dari pembawa berita. Atau
dengan jalan sanad lain yang menambah antara dua orang yakni antar perawi dan
pemberitanya.
D.
Kehujahan Hadis Mursal
Hadis Mursal semestinya masuk
dalam hadis dha’if yang mardud, karena ia tidak memenuhi persyaratan hadis Maqbul
yaitu ittihsal As-Sanad (persambungan sanad), dan tidak dikethui
sifat-sifst perawinya. Secara umum terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama
tentang penghujahan mursal tabi’I ini, yaitu ada tiga pendapat :
(1) Hukumnya
Shahih dan dapat dijadikan hujjah, jika yang memursalkannya dapat dipercaya
keadilan dan kedlabitannya ( Tsiqah ). Dengan alas an orang Tsiqah tidak
mungkin memursalkan hadis kecuali dari orang tsiqah pula. Pendapat pertama ini,
pendapat Imam Abu Hanifah, Malik, Ahmad.
(2) Dhaif
tidak dapat dijadikan hujjah, dengan alas an sifat-sift perawi yang digugurkan
tidak diketahui secara jelas, maka mungkin saja selain sahabat, pendapat
mayoritas Muhadditsin dan banyak dikalangan Fuqaha dan Ushuliyyin. Diantara mereka
Muslim bin Al-Hajjaj, Abu Hatim, Al-Hakim, Ibnu As-Shalah, An-Nawawi dan Ibnu
Hajar.
(3) Dapat
diterima dijdikan hujjah, dengan beberapa syarat menurut Imam As-Syafi’I dan
sebagian ahli ilmu. Syaratnya ada empat, yang tiga brkaitan dengan periwayatan
yang memursalkan hadis dan yang satu berkaitan dengan hadisnya, yaitu :
a)
Perawi yang memursalkan hadits seorang
tabi’in senior (kibar at-tabi’in).
b)
Perawi tsiqah.
c)
Tidak menyalahi para huffazh yang
amanah.
d)
Syaratsyarat di atas di tambah salah
satu dari empat syarat berikut:
1. Hadisnya di
riwayatkan melalui jalan (sanad) lain.
2. Ada periwayatan lain
secara mursal juga oleh ahli ilmu yang bukan pemursal pertama.
3. Sesuai dengan
perkataan sahabat.
4. Atau sesuai dengan fatwa
mayoritas ahli ilmu.[4]
Sedangkn
kehujjahan mursal shahabi ada dua pendapat dikalamngan para ulama, yaitu
sebagai berikut:
1. Pendapat jumhur muhadditsin: mursal
shahabi shahih dapat dijadikan hujjah, karena para sahabat semua bersifat
adil dan periwayatan sahabat sangat langka dari tabi’in. jika mereka
meriwayatkan dari mereka tentu menjelaskannya. Jika tidak menjelaskannya, pada
dasarnya mereka mendengar dari sahabat lain, membuang nama sahabat tidak
membahayakan.
2. Pendapat segolongan ushuliyyin, diantara
mereka Abu Ishaq Al-Isfarayini: tidak dapat dijadikan hujjah, kecuali dapat
dikatakan bahwa hadits tersebut hanya diriwayatkan dari sahabat.
Kehujjahan
mursal khafi, tergolong mardud dan dha’if karena tidak adanya
persambungan sanad atau diantara periwayat tidak bertemu langsung dengan si
pembawa berita (ghayr ittishal as-sanad).
E.
Perselisihan Ulama Tentang Berhujjah Dengan Hadis Mursal
Mengenai
kehujjahan hadis mursal, diperselisihkan para ulama.Setengah ulama hadis
menolaknya dan memandangnya hadis dhaif, yang tidak dapat dijadikan hujjah
dalam beramal.
Sebab
ditolak hadis mursal, ialah karena tidak diketahui keadaan orang yang tidak
disebut namanya itu. Apabila hadis yang diriwayatkan oleh orang majhul (tidak
diketahui keadaannya) ditolak, tentu hadis yang tidak diketahui sama sekali
orangnya lebih-lebih lagi ditolak. Akan tetapi, pendapat ini sebenarnya bukan
pendapat yang terkenal dalam kalangan fuqaha.Yang terkenal dalam kalangan
fuqaha, menerima hadis-hadis mursal.Sebagiannya, menerima dengan menjadikannya
setingkat dengan hadis mursal. Abu Hanifah r.a. menerima hadis mursal, kalau
yang mengirsalkan itu shahaby atau tabi’i. yakni tabi’I tidak menyebut nama
shahaby yang memberikan hadis kepadanya, atau tidak disebut nama tabi’I oleh
tabi’it. Irsal yang sesudah tabi’it itulah yang ditolak. Demikianlah tersebut
dalam kitab-kitab ulama-ulama hanafiyah.
Malik
Ibn Annas r.a. menerima segala hadis mursal. Beliau meletakkan fatwanya atas
dasar hadis mursal, padahal beliau seorang yang keras sekali sikapnya dalam
menerima hadis.Beliau menerima hadis mursal yang di beritakan oleh orang
kepercayaan, sebagaimana beliau terima segala berita yang di sampaikan
kepadanya oleh orang0orang kepercayaan.
Abu
Hanifah dan Malik menerima hadis mursal, tidak dapat dipandang bahwa
beliau-beliau itu bermudah-mudah saja dalam urusan menerima hadis.Beliau-beliau
menerima hadis mursal yang diriwayatkan hanya orang-orang kepercayaan saja.
Kata
Al-Hasan Al-Bishry, “kalau hadis yang ku terima itu diriwayatkan oleh empat
orang sahabat, aku terus menerangkan sabda nabi, dengan tidak menerangkan
nama-nama sahabat itu. Maka kalau aku mengatakan, “diriwayatkan padaku oleh si
fulan, berartilah bahwa hadis itu aku terima dari seorang saja.Kalau aku terima
dari berpuluh-puluh orang aku terus mengatakan, bersabda Rasulullah SAW”.
Menurut
pemeriksaan, riwayat hadis secara irsal ini, berkembang dalam kalangan tabi’in
dan tabi’it sebelim timbul banyak pemalsuan hadis.Untuk menghambat timbul
penyakit pemalsuan hadis, barualah para ulama memerlukan benar sanad-sanad itu.
Ini di buktikan oleh perkataan Ibnu Sirien, ujarnya “kami tidak mengisnadkan
hadis, sebelum timbul fitnah pemalsuan hadis”.
Ringkasnya,
Abu Hanifah dan Malik memandang hadis mursal sama dengan derajat hadis ahad
yang muttashil, apabila yang mengirsalkan itu kepercayaan.
Asy-Syafi’I
tidak menempatkan hadis mursal dalam menempatkan hadis mursal dan tidak
menerimanya, melainkan dengan adanya beberapa syarat, yaitu:
a) Mengenai orang yang mengirsalkan
hadis.
b) Mengenai hadis yang diirsalkan
itu.
Ahmad
memandang, bahwa hadis-hadis mursal, dhaif.Lantaran itu, Ahmad mendahulukan
fatwa shahaby atas hadis mursal padahal Ahmad, sekali-kali tidak mau
mendahulukan fatwa shahaby ats sesuatu hadis shahih.Tegasnya, Ahmad mengikuti
pendirian para muhadditsin dalam memandang dhaif hadis mursal.Hanya di ketika
terpaksa saja, yakni di ketika tidak diperoleh sesuatu hujjah yang perlu
dipegang untuk menetapkan hukum, barulah beliau berpegang pada hadis mursal
ini.[5]
BAB
III
PENUTUP
Hadis Mursal semestinya masuk
dalam hadis dha’if yang mardud, karena ia tidak memenuhi persyaratan hadis Maqbul
yaitu ittihsal As-Sanad (persambungan sanad), dan tidak dikethui
sifat-sifst perawinya. Secara umum terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama
tentang penghujahan mursal tabi’I ini
1) Hukumnya
Shahih dan dapat dijadikan hujjah, jika yang memursalkannya dapat dipercaya
keadilan dan kedlabitannya ( Tsiqah ). Dengan alas an orang Tsiqah tidak
mungkin memursalkan hadis kecuali dari orang tsiqah pula. Pendapat pertama ini,
pendapat Imam Abu Hanifah, Malik, Ahmad.
2) Dhaif
tidak dapat dijadikan hujjah, dengan alas an sifat-sift perawi yang digugurkan
tidak diketahui secara jelas, maka mungkin saja selain sahabat, pendapat
mayoritas Muhadditsin dan banyak dikalangan Fuqaha dan Ushuliyyin. Diantara
mereka Muslim bin Al-Hajjaj, Abu Hatim, Al-Hakim, Ibnu As-Shalah, An-Nawawi dan
Ibnu Hajar.
3)
Dapat diterima dijdikan hujjah, dengan
beberapa syarat menurut Imam As-Syafi’I dan sebagian ahli ilmu
DAFTAR
PUSTAKA
Khon, Abdul Majid. 2009. Ulumul Hadis. Jakarta:Sinar Grafika.
Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadis. Bogor:Ghalia Indonesia.
Ash-Shalih, Subhi. 2009.Membahas Ilmu-ilmu Hadis. Jakarta:Pustaka Firdaus.
Ash Shiddieqy, Teuku Muhammad Hasbi. 1999. Ilmu Hadis. Semarang:PT Pustaka Rizki
Putra.
[1]
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis,(Jakarta:Sinar Grafika,2009),hal 169-170
[2]
Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Hadis, (Jakarta:Pustaka Firdaus,2009),hal
158-159.
[3]
Abdul Majid Khon, op. cit., hal 170-171.
[4]
Sohari Sahrani, Ulumul Hadis, (Bogor:Galia Indonesia,2010).
[5]
Muhammad Hasbi Ash- Shiddieqy, Ilmu Hadis, (Semarang:PT Pustaka Riski
Putra,1999), hal 184-187.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar